Senin, 29 September 2008


PENDIDIKAN YANG TIDAK MENDIDIK
Sisi Lain Realitas Dunia Pendidikan Indonesia


Oleh : Saeful Hadi, S.Sos.


Membicarakan masalah dunia pendidikan di Indonesia sepertinya selalu menarik untuk diperdebatkan. Ibaratnya menegakkan benang basah, sukar sekali untuk mencari format terbaik dalam mengelola pendidikan di tanah air. Berganti-gantinya peraturan bukannya semakin mengerucutkan permasalahan yang akan memudahkan dicari solusi pemecahannya namun malah semakin rumit dan apalagi jika dikaitkan dengan isu-isu politik atau dipolitisir. Sementara itu di lapangan tawuran pelajar masih marak terjadi, narkoba semakin merajalela, premanisme dan tingkat kriminalitas pelajar meningkat, bahkan hal-hal yang tidak sepatutnya mereka lakukan seperti seks bebas dan aborsi mengalami kecenderungan meningkat. Kemudian pada suatu waktu penulis sendiri pernah melihat dua orang pelajar putri setingkat SLTP di sekitar alun-alun Tasik sedang berkelahi yang kata teman-temannya penyebabnya masalah pacaran atau baru-baru lalu ada berita sepasang siswa SLTP yang katanya dipecat dari sekolahnya karena ketika acara perkemahan mereka kedapatan melakukan perbuatan “mesum” yang sudah kelewat batas. Masya Allah.
Tanpa mengabaikan berbagai prestasi yang diraih para pelajar kita seperti misalnya keberhasilan tim Fisika Indonesia meraih juara umum Olympiade Fisika Asia Ke-4 di Bangkok, Thailand tanggal 20-29 April 2003 lalu, sebetulnya permasalahan seperti apakah yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia ketika produknya justru banyak memunculkan orang-orang yang bermental korup, berjiwa preman, dan semacamnya yang pada akhirnya turut menyumbang sulitnya Indonesia melepaskan diri dari krisis yang dialami seperti yang terjadi saat ini ?
Ketika para pakar pendidikan berbicara masalah penyebab terjadinya berbagai tawuran antar pelajar dan kenakalan remaja yang semakin meningkat, seringkali jawabannya adalah kurangnya pendidikan moral di sekolah serta ditambah pengaruh media komunikasi dan hiburan yang semakin sering menayangkan adegan kekerasan. Terlalu menonjolkan aspek ilmu pengetahuan yang diduga sangat kuat menunjang tingkat kecerdasan dan keterampilan anak didik masih menjadi paradigma utama dalam dunia pendidikan. Sementara nilai-nilai transenden serta religius masih belum cukup untuk membentuk kepribadian anak didik yang mulia. Pendapat tersebut merupakan alasan yang paling sering dikemukakan oleh para pakar, namun dari sudut pandang penulis ada dua hal lagi yang masih luput dari perhatian menyikapi penyebab krisis produk dunia pendidikan di Indonesia.

Mental dan Moral Pendidik Yang Tidak Baik
Pengajar atau pendidik atau dalam bahasa sehari-hari lebih akrab dengan sebutan “guru” merupakan salah satu dari tiga elemen pendidikan disamping pelajar atau anak didik dan realitas dunia yang menjadi bahasan dunia pendidikan, yang ketiganya menurut Paulo Freire berhubungan secara dialektis1. Dalam hal ini fungsi pendidik lebih ditekankan sebagai subyek aktif yang dianggap sudah “tahu banyak” tentang materi-materi pelajaran yang akan disampaikan kepada anak didik. Posisi anak didik sendiri hanya sebagai sebuah obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan pada ujung-ujungnya berdasarkan konsep Freire tersebut menjadi bersifat negatif dimana pendidik yang memberi informasi yang harus ditelan oleh anak didik, wajib diingat dan dihapalkan2. Kenyataan ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa anak didik akan selalu mengidentifikasi diri seperti gurunya sebagai sosok manusia ideal yang harus digugu dan ditiru serta harus diteladani dalam segala hal.
Lantas yang menjadi persoalan adalah bukan pada materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik pada anak didiknya, misalnya pendidikan etika, moral dan religi lewat PPKN, Pendidikan Agama atau Penataran P-4 yang sudah dihapus, akan tetapi permasalahannya adalah ada beberapa pendidik yang moral dan mentalnya yang tidak terpuji. Hal ini sering tanpa disadari, walaupun tidak menutup kemungkinan banyak juga yang disengaja karena tuntutan ekonomi. Contoh nyata misalnya melarang anak didik untuk tidak merokok di sekolah, namun pendidik sendiri malah melakukannya bahkan parahnya ada yang di depan kelas ketika sedang mengajar. Sikap yang mau tidak mau disebut munafik ini pada gilirannya akan ditanggapi oleh sebagian anak didik sebagai sebuah contoh yang harus ditiru di kemudian hari dan lain kesempatan. Apakah sikap tersebut memang layak untuk diteladani.
Kemudian menyimak pendapat Everet Hagen3 bahwa seringkali pendidik menghadapi anak didiknya dengan kaku dan bahkan arogan. Banyak kasus pendidik tidak mengizinkan muridnya banyak bertanya. Tidak jarang pendidik tidak toleran terhadap perbedaaan dan merasa terganggu oleh pikiran-pikiran kritis dari anak didiknya sehingga dengan mudahnya pendidik memarahi bahkan memukul anak didiknya yang kritis tersebut. Sikap pendidik seperti itu dari aspek psikologis berdampak pada pembentukan kepribadian anak didik di kemudian hari yang tanpa disadari akan meniru perilaku pendidiknya yang otoriter dan arogan. Fenomena ini tampaknya di Indonesia banyak ditemui dan berlangsung terus menerus sehingga akhirnya menjadi mengkonstruksi secara sosial dalam dunia pendidikan kita.
Hal lain yang bisa menjadi berbahaya bagi anak didik adalah mencontohkan sikap tidak mandiri dan pemalas pada anak didik lewat pengadaan les atau tambahan jam belajar di luar jam sekolah. Mengapa demikian ? Sebab pada kenyataannya banyak pendidik yang justru mengadakan les dengan memberikan soal-soal latihan ujian yang hampir sama atau bahkan ada yang persis seratus persen dengan soal-soal ujian resmi di sekolah. Kenyataan ini berakibat anak didik hanya akan terfokus pada soal-soal les saja tanpa mau mempelajari yang lainnya dan juga menimbulkan kecemburuan anak didik lainnya yang tidak ikut les. Dampak lebih jauh dari kasus tersebut adalah terjadi pada saat EBTANAS dan UMPTN ( sekarang UAN dan SPMB ) dimana anak didik yang sebelumnya ketika ujian dimanjakan dengan soal-soal yang biasa disampaikan pada les menjadi kelabakan karena soal-soalnya menjadi asing. Bagi anak didik yang pintar dan rajin, ia tidak akan merasa kesulitan, namun bagi yang hanya mengandalkan soal latihan dari les, ia akan menemui kesulitan dan akibatnya perbuatan seperti nyontek akan ia lakukan.
Ada tiga hal yang bisa diambil pelajaran dari kasus di atas. Pertama, melestarikan sikap manut atasan atau ABS (asal bapak senang) yang taken for granted ( kaku dan menerima apa adanya dengan mengabaikan benar atau salah). Sikap tersebut pada dampak selanjutnya berakibat hanya menempatkan suatu permasalahan dari sudut pandangnya sendiri dan sulit menerima pendapat orang lain; Kedua, menciptakan manusia yang berjiwa otoriter dan tidak kreatif. Identifikasi diri anak didik terhadap pendidik yang tidak terpuji berakibat pada perilaku anak didik tersebut di kemudian hari sebagai bagian dari ranah sejarah hidup mereka. Hal ini akan semakin parah jika lingkungan mendukung dan pendidikan agama anak didik tersebut sangat kurang; Dan ketiga, Ini masalah klasik yaitu kesejahteraan guru. Semua orang pun sudah tahu bahwa dengan tugas yang demikian mulia dan berat sebagai yang digugu dan ditiru sangatlah tidak memadai imbalan dan penghargaan yang diterima oleh tenaga pendidik. Ini terutama bagi tenaga guru honorer atau kontrak yang upahnya sangatlah minim sedangkan kebutuhan hidup mereka semakin tidak terkejar, sehingga kalau mereka mencari tambahan lain yang akan mengurangi integritas mereka dalam dunia pendidikan adalah suatu keniscayaan.




Ketidaktahuan Orang Tua dan Tekanan Prestasi Pada Anak
Masih belum hilang dari ingatan kita beberapa tahun lalu mengenai kasus pembunuhan sadis kelaurga dokter di Medan yang ternyata pembunuhnya adalah anak bungsu keluarga tersebut yang masih berstatus pelajar SMU. Seolah-olah di luar akal sehat kita bagaimana mungkin seorang anak kandung membunuh kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya dengan begitu kejam. Tetapi itulah yang terjadi.
Berawal dari kasus tersebut, pembahasan sub tema ini dimulai. Inilah salah satu dampak dari kesalahan interpretasi masyarakat terhadap proses pendidikan yang tanpa disadari terjadi. Budaya feodal yang berpikiran caklek yang hanya memandang sesuatu hal dari sudut pandangnya sendiri benar-benar terjadi juga dalam lingkungan keluarga. Jangankan dalam konteks negara, konteks keluarga pun iklim demokrasi masih sulit untuk ditegakkan dan akhirnya yang terjadi adalah munculnya berbagai perilaku brutal yang dilakukan khususnya oleh anak remaja ketika mengalami tekanan mental dan beban psikologis yang berat.
Satu hal yang perlu diingat bahwa setiap personal atau individu manusia memiliki heterogenitas dan kemajemukkan dalam berbagai hal termasuk masalah kemampuan berpikir dan kecerdasan seorang anak. Namun masalahnya adalah sejauh mana orang tua mengetahui batas-batas kemampuan anak dan bakat yang dimilikinya. Inilah yang sering diabaikan oleh para orang tua menyikapi tuntutan prestasi tinggi pada anaknya. Kejadian pembunuhan sadis di Medan cukup jelas menunjukkan bahwa orang tua terlalu memaksakan kehendak pada anaknya untuk mengikuti jejak prestasi keluarganya atau malah harus melebihinya. Orang tua seringkali tidak menyadari bahwa belum tentu seorang anak memiliki kemampuan dan bakat serta minat yang sama dengan mereka, sehingga yang terjadi adalah “memaksa” anak untuk selalu berprestasi sedemikian rupa seperti keinginan mereka tanpa melihat dan menyadari batas-batas kemampuan seorang anak.
Lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah turut memperparah situasi. Ini terjadi seperti kasus les dalam sub tema pertama di atas. Karena orang tua menginginkan atau menuntut prestasi bagus pada anaknya, padahal si anak tidak diketahui batas kemampuannya, sehingga si anak akhirnya melakukan segala cara untuk mencapai prestasi yang dituntut orang tuanya itu. Orang tua hampir tidak pernah mengetahui bagaimana sebetulnya kondisi proses belajar mengajar di sekolah itu, apakah berlangsung demokratis dan jujur atau tidak, kecuali orang tuanya yang berprofesi sebagai tenaga pendidik dan ini pun tetap tidak berpengaruh banyak karena seringkali para pendidik yang mempunyai anak dengan sekolah yang sama dengan ia bekerja memberikan semacam kemudahan pada anaknya termasuk memberi tahu kisi-kisi soal ulangan atau ujian.
Seorang anak dalam kondisi psikologis yang berat dengan tekanan prestasi yang tinggi dan harus selalu dituntut maksimal ditambah kondisi kelas yang dalam kompetisi mencapai prestasi tinggi, sedangkan kemampuannya terbatas, akan cenderung berusaha dengan segala cara untuk mencapai prestasi tersebut. Pada akhirnya si anak akan cenderung melakukan tindakan tercela seperti menyontek, mengopek lewat kertas-kertas kecil, jual beli soal-soal kisi-kisi ulangan, dan mengikuti les dengan tujuan untuk memperoleh soal yang hampir seratus persen sama dengan soal ujian yang sebenarnya di sekolah. Bahkan ada kasus seperti pengalaman penulis, ada teman penulis yang dengan beraninya “mencuri” soal dari rumah seorang pendidik waktu ia pura-pura les dengan tujuan memperoleh nilai bagus karena pendidik tersebut sangat ketat memberikan soal ulangan. Untungnya perbuatan itu akhirnya ketahuan sehingga ulangannya batal dan soalnya diganti dengan yang lain.
Kasus di atas entah disadari atau tidak oleh para pendidik seolah-olah sudah menjadi kebiasaan dan dianggap wajar-wajar saja. Yang jelas orang tua banyak yang tidak tahu terhadap situasi dan kondisi proses belajar mengajar di sekolah, karena yang dituntut hanya prestasi melulu, sehingga sikap otoriter orang tua terhadap anaknya seringkali terjadi tanpa mereka sadari. Beban psikologis anak dengan kondisi itu akhirnya banyak menimbulkan sikap tidak terpuji dari anak didik seperti yang disebutkan di atas. Pada akhirnya pendidikan moral yang ditanamkan pada anak didik menjadi tidak efektif untuk mengatasi perilaku tersebut karena sikap pendidik, sikap orang tua dan institusi sendiri seolah-olah permissif terhadap kondisi yang terjadi.
Kondisi pendidikan yang tidak mendidik tersebut pada konteks makro akhirnya akan banyak memberikan kontribusi terhadap munculnya para pejabat, elit-elit pemimpin yang bermental otoriter, berjiwa korup, berperilaku seperti preman yang berbuat selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaannya. Tanpa bermaksud untuk menjelekkan dan mendeskriditkan para pendidik secara keseluruhan yang telah begitu banyak jasanya terhadap proses pencerdasan kehidupan bangsa dan pembangunan kualitas sumber daya manusia, tampaknya hal-hal yang telah disebutkan di atas masih jauh dan sering luput dari perhatian kita.

Solusi Mengatasi Permasalahan
Permasalahan yang diuraikan di atas, jika tidak secepatnya ditangani akan menciptakan situasi yang semakin memperburuk mental anak bangsa. Fenomena di atas sudah mengarah pada semacam konstruksi sosial dalam proses kompetisi untuk memperoleh atau mempertahankan status sosial tertentu dalam sebuah masyarakat. Situasi tersebut sangatlah tidak kita inginkan ketika keadaan bangsa ini yang masih sulit lepas dari krisis multidimensi. Adapun solusi-solusi yang sekiranya bisa menjadi masukan mengatasi permasalahan pendidikan seperti yang diuraikan di atas adalah sebagai berikut :
1. Tidak akan berhasil suatu pendidikan moral dan mental terhadap anak didik jika pendidik sendiri tidak bermoral dan bermental terpuji. Oleh karena itu moral dan mental terpuji tersebut harus ditanamkan atau dimulai terlebih dahulu dalam sikap dan perilaku pendidik karena sebagai yang digugu dan ditiru, baik langsung maupun tidak langsung anak didik akan meniru pendidiknya sebagai teladan bagi mereka. Jangan sampai urusan pribadi di rumah misalnya dibawa-bawa ke sekolah sehingga anak didik menjadi korban.
2. Orang tua hendaknya sejak dini mengetahui dan menelusuri sampai sejauh mana batas-batas kemampuan anaknya dan bakat yang dimilikinya, sehingga tidak begitu saja memaksakan kehendak demi prestise atau status yang dibebankan terlalu berat kepada anak untuk berprestasi sesuai yang diinginkan. Dengan tetap mengawasi perilaku dan tindak tanduk anak, orang tua dibiasakan bersikap demokratis terhadap pilihan-pilihan hidup anak supaya sang anak tidak memiliki beban psikologis yang sangat berat, yang nantinya bisa menimbulkan sikap dan perilaku yang tidak terpuji seperti yang diuraikan di awal-awal tulisan ini.
3. Pihak institusi pendidikan, para pendidik dan pihak orang tua sebaiknya saling bekerja sama secara intensif serta selalu saling bertukar informasi tentang perkembangan proses pendidikan anak untuk menciptakan iklim proses belajar mengajar yang sehat sesuai dengan batas-batas kemampuan anak yang sebenarnya. Adanya Dewan Sekolah diharapkan menjadi mediator yang efektif dalam terjalinnya kerja sama tersebut.
4. Pada proses belajar mengajar hendaknya ditanamkan nilai-nilai demokrasi secara sehat. Dikotomi pendidik dan anak didik sebagai subyek-obyek harus segera ditinggalkan dengan menciptakan iklim proses belajar mengajar yang bersifat kemitraan yaitu subyek-subyek antara pendidik dengan anak didik, tanpa mengabaikan etika sopan santun antara “orang tua” dari pihak pendidik dengan “anak” dalam arti anak didik.
5. Pemerintah dituntut untuk lebih perduli lagi dengan kesejahteraan tenaga pendidik khususnya bagi tenaga honorer atau kontrak. Pemerintah harus mampu bersikap adil antara tuntutan profesionalisme dan transparansi kepada pendidik dengan konsekuensi penghargaan terhadap mereka yang lebih layak. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari praktek-praktek yang sebenarnya tidak mendidik dan pembodohan seperti program les dengan berbagai macam alasannya yang sebetulnya kebanyakan semata-mata untuk menambah penghasilan pendidik yang pada akhirnya mengabaikan substansi pendidikan itu sendiri dan tidak mengefektifkan peran sekolah untuk proses belajar mengajar yang sebenarnya.

Demikian uraian sisi lain dunia pendidikan Indonesia yang masih luput dari perhatian kita semua. Tujuan penulisan ini tidak lain adalah untuk menggugah kesadaran kita bahwa ada sisi lain yang diabaikan dan luput dari perhatian mengenai realitas dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan Indonesia sepertinya masih jauh dari nilai-nilai demokrasi yang selama ini menjadi jargon dan doktrin politik para elit dan penguasa di Indonesia. Pendidikan hanyalah sebagai alat politik bukannya sebagai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berakhlak mulia.
Paradigma pengelolaan dunia pendidikan harus secepatnya dirubah dengan tidak menempatkan sekolah sebagai “pabrik” atau “bank” guna memenuhi pasar kapitalis semata, tetapi sekolah dan dunia pendidikan adalah sarana pembentukan kepribadian dan sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas, berketerampilan tinggi dengan menguasai iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga bermental dan bermoral terpuji sehingga sejak dini kita bisa mengikis habis penyakit korupsi dan kolusi yang pada gilirannya dapat menciptakan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia.****


Tasikmalaya, 5 Mei 2003

SUMBER REFERENSI
Freire, Paulo. 1999, Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Cetakan pertama, Kerjasama Pustaka Pelajar dan READ, Yogyakarta.

Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi ?, Cetakan pertama, Remaja Rosda Karya, Bandung.

Minggu, 14 September 2008

Puasa Dan Kepekaan Sosial

Oleh: Irvan Mulyadie

Berbicara soal bulan suci Ramadhan, yang menarik, tak hanya ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat Tarawih, shalat Witir atau Tadarus Al Quran saja. Apalagi kalau hanya ngomong soal ngabuburit dan baju lebaran. Lebih dari itu semua adalah bahwa Ramadhan pun sesungguhnya mengajarkan pada kita tentang betapa tingginya nilai ibadah puasa sebagai bukti kepedulian sosial dari umat Islam atas saudara-saudaranya yang kurang beruntung.

Kompilasi

Sudah kita saksikan bersama pada beberapa waktu belakangan ini, bahwa krisis energi yang disebabkan oleh melambungnya harga minyak dunia rata-rata telah memporak-porandakan stabilitas berbagai negara. Tak hanya negara miskin dan berkembang saja yang merasakan dampaknya. Negara adidaya seperti Amerika Serikat pun tidak kurang terpukulnya. Dan itu ditandai dengan maraknya kredit macet pada banyak bidang terutama di sektor industri dan bisnis property.

Tentu saja merosotnya perekonomian dunia tidak hanya berdampak pada turunnya daya beli masyarakat. Namun juga turut mempengaruhi sektor-sektor lain seperti di kancah perpolitikan. Saking hebatnya dari gelaran peta politik tersebut, yang tak menarik, justeru krisis ini ternyata mampu pula direspon atau paling tidak ditafsirkan menjadi peluang langka serta bahan pergunjingan untuk saling serang dengan lawan politiknya. Sekaligus juga sebagai ajang promosi pribadi dan wahana beladiri. Akibatnya tentu saja kita yang cuma korban dan penonton setia jadi makin tidak merasa ngeh dibuatnya.

Puasa sebagai Solusi

Baiklah, mari sejenak kita rehat (bahkan kalau bisa; melupakan) akan segala hiruk pikuk persoalan duniawi yang disebut di atas tadi. Meskipun tentu saja itu sangat sulit. Apalagi kalau kita terus menerus mengamati perlonjakan harga kebutuhan sandang-pangan menjelang Lebaran.

Shaum atau Shaimun (puasa) yang secara bahasa berarti menahan, sesungguhnya merupakan suatu solusi yang tepat dalam rangka menata kembali pola pikir dan strategi dengan menyikapi beragam persoalan yang terjadi pada masalalu. Setidaknya dalam sebulan ini kita senantiasa dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu yang paling dasar yakni keinginan untuk makan dan minum. Sebab secara simbolis, lapar dan dahaga inilah yang akhirnya mampu menggoda bahkan membuta-tulikan akal serta nurani kemanusiaan dalam kondisi-kondisi tertentu.


Maka tak terlalu berlebihan jika pada bulan yang penuh berkah ini kita pergunakan sebaik-baiknya dengan meningkatkan kualitas pengabdian baik secara vertikal maupun horisontal. Ke arah vertikal tentu niat karena Alloh-lah kita beribadah. Dan ke arah horisontal, silaturahmi dan amal shaleh antar sesama manusia yang harus terus dibina.

Tidak semua orang di sekitar kita ini yang mampu makan setiap hari. Apalagi makanan enak, mahal dan bergizi. Sekali-kali cobalah tengok tetangga sebelah atau saudara-saudara kita yang kurang beruntung nasibnya dari segi ekonomi. Dan bandungkanlah dengan diri kita. Bagi kaum dhuafa, mungkin, ibadah puasa bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Pasalnya karena mereka telah terbiasa tidak makan pada hari-hari lainnya di bulan Ramadhan. Bukan karena mereka benar-benar berpuasa, melainkan karena sumber makanan (baca: Nafkah)nya memang tidak tersedia.

Namun yang paling ngeri adalah manakala ada dari sebagian orang dari kita malah tak tersentuh sama sekali dengan substansi dari ibadah puasa itu sendiri. Pada mulanya, Shaum Ramadhan itu dimaksudkan sebagai sarana peningkatan kepekaan sosial dengan turut pula merasakan penderitaan fakir miskin. Jadi kurang tepat rasanya jika saat berbuka puasa atau sahur menu makanan yang terhidang terkesan mewah dan terlalu mengada-ada. Terlebih jika ibadah buka puasa tersebut malah menjadi seperti ajang balas dendam atau pelampiasan atas perasaan haus dan lapar kita selama berpuasa hingga makan yang berlebihan dan (maaf) kamerkaan.

Adapun jika acara buka puasa bersama atau sahur itu disinyalir sebagai ajang kampanye politik oleh sebagian parpol dan calon-calon pemimpin negara seperti yang kini banyak diberitakan oleh mediamassa, bagi saya, tidaklah terlalu penting untuk dipergunjingkan. Salah-salah malah bisa mengurangi fhadilah puasa kita sendiri. Ya, sepanjang acara tersebut lebih mengutamakan inti nilai ibadahnya ketimbang menggalang dukungan politik yang sifatnya sementara. Keikhlasan tetap harus jadi patokan. Karena sayang sekali rasanya andai ibadah-ibadah yang kita perbuat itu hanya kandas dan sampai pada tataran horisontal saja. Sedangkan pahala di akhirat?

Terakhir, selamat menunaikan ibadah puasa. Mohon maaf lahir dan bathin.

Penulis adalah Ketua SOK STISIP Tasikmalaya.

Diterbitkan oleh:

SOKNEWS’2008