Selasa, 28 Oktober 2008

Merangsang Gairah Menulis


Oleh: Irvan Mulyadie

Menulis bukanlah hal yang sulit. Apalagi untuk ukuran mahasiswa. Bagaimanapun juga pelajaran menulis sudah diterima semenjak kita duduk di bangku SD, bahkan di Taman Kanak-kanak. Dengan demikian akan terdengar sangat janggal apabila ada seseorang (terutama mahasiswa) yang menyatakan bahwa ia tidak bisa menulis. Lain cerita kalau memang buta hurup.

Memang, dalam membuat karya tulis seseorang harus melalui berbagai tahapan proses terlebih dahulu. Diantara proses-proses itu ialah kesetiaan dirinya untuk terus menggali potensi diri, mendalami berbagai teknik pengembangan tulisan serta terus meningkatkan ilmu pengetahuan. Yang termasuk di dalamnya adalah mempelajari tips dan trik jitu dalam menulis.

Sekitar tahun 2003-an saya pernah berjumpa dengan seorang ‘teroris mental’ (begitu ia menyebut dirinya) yang terkenal sebagai penulis paling produktif di dunia seni dan budaya khususnya sastra. Beliau adalah budayawan, sastrawan, sutradara film dan sinetron, dan kolumnis berbagai media massa cetak. Sudah ribuan karya yang ia lahirkan melalui goresan tinta dari tangan juga printer komputernya. Seringkali mendapatkan penghargaan luar biasa atas dedikasinya dalam berkarya. Baik di dalam maupun luar negeri. Dialah Putu Wijaya, seniman tulen asal Bali yang akhirnya jadi selebriti.

Saat itu, dalam acara festival monolog tingkat nasional di Bandung. Ia membongkar rahasia pribadinya dalam berkarya. Sebuah rahasia yang unik, sederhana dan mungkin sangat mengejutkan. Ternyata disiplin tingkat tinggilah yang menjadi moto hidupnya.

Bisa dibayangkan, setiap pagi ketika baru bangun tidur, ia langsung melakukan push up 100 kali, site up 100 kali juga skot jump 100 kali. Setelah itu ia minum segelas besar air putih dan langsung nongkrong depan komputer. Dan beberapa saat kemudian, dan dalam kesempatan itu juga sebuah karya tulis akan ia hasilkan. Bentuk karyanya bisa apa saja. Bisa sebuah makalah seminar, puisi, cerpen, artikel koran, dan semacamnya.

Begitu juga dengan Arshwendo Atwiloto, pengarang yang menulis buku fenomenal Mengarang Itu Gampang saat diwawancara oleh suatu media massa menyatakan; intinya, menulis itu akan mudah jika sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sang penulis. Tidak melulu bicara soal pekerjaan, tapi sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar.

Disamping itu, kegiatan membuat karya tulis pun dapat menghasilkan rejeki. Sudah banyak contoh kongkret penulis kaya dengan royalti yang didapatkan atas penjualan buku-bukunya. Tengoklah Pramoedya Anantatoer. Meskipun ia tinggal bertahun-tahun di penjara, toh ia tak pudar semangat dalam berkarya. Ia dapat melahirkan berbagai novel fenomenal seperti Cerita dari Blora dan Keluarga Gerilya yang laris manis di pasaran. Sehingga pada akhir hayatnya ia dapat menikmati sisa hidup dari jerih payahnya itu dengan bukti berupa sebuah villa yang megah di pulau Jawa (di Tangerang kalau tidak salah).

Tidak hanya para penulis yang sudah mapan, ternyata seorang anak berusia 13 tahun kelahiran Banyuwangi yang bernama A Ataka Awwalurrizqi pada tahun 2005 mampu merillis 3 buah buku seri sekaligus dengan judul Misteri Pedang Skinheald. Buku seri pertamanya saja setebal dua ratusan halaman. Selain terkenal, kini Aka pun menjadi salah seorang anak yang jutawan.

Dan contoh yang paling dekat tentang penulis sukses yang banyak ketiban rejeki atas karya-karya tulisnya adalah Acep Zamzam Noor. Acep asli penduduk Tasikmalaya, tepatnya orang Cipasung. Tahun ini saja berkat buku kumpulan puisinya Menjadi Penyair Lagi, ia mendapatkan anugerah tabungan sebesar Rp.100.000.000,- melalui penghargaan Khatulistiwa Award. Sementara sebelumnya, mendapatkan penghargaan Internasional SEA Write Award di Bangkok lewat buku Jalan Menuju Rumahmu.


Gairah Menulis
Lalu bagaimana caranya menjadi seorang penulis seperti mereka?
Ada banyak jawaban untuk menjawab pertanyaan di atas. Salah satunya adalah dengan memunculkan gairah dalam diri untuk berkarya. Cara yang paling tepat untuk memunculkan gairah tadi yakni dengan merangsang gairah menulis itu sendiri.

Teknik merangsang gairah dalam menulis diantaranya adalah:
1.Menjadi Kutu Buku; yakni
dengan membaca banyak karya tulis dengan tema yang kita sukai dan kita benci. Sebab, dalam rasa suka dan benci ada rangsangan luar biasa pada proses pembelajaran dalam hal apapun. Di sisi lain kita bisa bersikap objektif dan pada sisi lainnya kita akan menentukan pilihan dengan subjektif. Searching juga ke dunia internet disarankan supaya kita dapat dapat referensi yang lebih banyak.

2.Menjadi Orang Gaul;
bergaul atau bergabung dengan orang yang sama-sama mempunyai minat dan bakat dalam menulis selama ini dianggap sebagai tips paling jitu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam berkarya. Disana ada pergesekan emosional dan proses pembelajaran non formal yang memungkin adanya semacam keadaan praktek kritisi bathiniyah dan perbandingan karya.

3.Menjadi Tukang jalan-jalan;
bagaimanapun, referensi yang banyak adalah bekal utama bagi seorang penulis. Bagaimana mungkin kita dapat menghasilkan sebuah karya yang benar-benar segar, baru dan berciri khas seandainya kita tidak pernah membaca atau setidaknya mengetahui orang yang lebih dahulu menjejakan kakinya di dunia kepenulisan. Kunjungilah berbagai pameran buku, perpustakaan-perpustakaan maka niscaya gairah menulis anda akan muncul dengan segera. Inginkah anda pada suatu saat nanti ada beberapa buku kita yang terpajang disana dan dibaca atau dilirik banyak orang?

4.Menjadi Pemimpi Tingkat Tinggi;
bayangkanlah jika suatu hari kita dapat merasakan menjadi seseorang yang sangat terkenal atas jerih payah kita dalam menulis. Kita diundang kemana-mana hanya untuk meluncurkan buku baru karya kita sendiri. Dengan pembicara pengarang atau kritisi yang berkompeten pula. Diburu penggemar yang memaksa minta tandatangan dan poto bersama. Tidakkah kita berharap dengan apa yang kita tulis itu orang-orang bisa menangkap gagasan kita, kemudian melakukan atau setidaknya merenungkan tentang pesan yang kita sampaikan melalui buku tersebut? Kemudian pasanglah target, hendak dari mana kita akan memulainya?

5.Menjadi Pemberontak;
jangan dulu terpaku pada teori jika hendak memulai karya tulis. Toh, teori tidak akan banyak bermanfaat seandainya hanya akan membuat kita mandek atau malu-malu saja dalam berkarya. Tuliskan saja apa yang ada di dalam kepala. Cari objek tulisan dari arah yang sama sekali belum pernah dipikirkan orang.
Olah gaya tutur dalam penulisan sehingga kita sendiri benar-benar yakin akan kejelasan maksud dan tujuan kita menulis. Boleh liar asal tetap terkendali. Boleh merangkul berbagai tema asal tercakup substansinya dari apa yang kita sampaikan. Nah, baru setelah itu kita kaji kembali dan merancang bangun tulisan kita agar dapat diterima khalayak luas.

6.Menjadi Pencuri Kesempatan;
jadilah tukang mencuri kesempatan sejati. Gunakan seluruh daya intelegensi guna melacak sasaran tepat, deteksi setiap kemungkinan dan celah guna menyerang imajinasi supaya dapat kita ambil. Manfaatkan seluruh media yang ada guna melatih daya kreativitas kita dalam menulis. Bisa dengan mengisi buku harian atau blog pribadi, mengisi mading (majalah dinding) yang biasanya kebanyakan diisi oleh iklan komersial, atau menggempur media massa dengan cara mengirimkan banyak karya yang kita tulis tanpa putus asa.

Jangan berharap dengan satu atau dua kali saja kita berkarya orang-orang di dunia dapat menerima gagasan kita. Butuh kesetiaan dan ketelatenan kita dalam membentuk citra dan opini publik.

7.Menjadi Murid Kehidupan;
jangan pernah merasa puas akan apa yang telah kita capai dalam berkarya. Tanamkanlah dalam diri suatu semangat seperti ombak yang tak henti-hentinya bergejolak walau tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Carilah peluang dimana kita harus lebih meningkatkan kualitas kekaryaan. Banyak bertanya kepada orang yang tepat. Banyak bertanya pada diri sendiri. Serta banyak memberikan jawaban pada teka-teki kehidupan. Dan ikhlas dalam memperjuangkan cita-cita.

Untuk belajar menjadi penulis yang baik adalah dengan terus menerus membuat tulisan. Tuliskan apa saja yang pernah terlintas di kepala. Setiap ide yang muncul harus segera ditangkap. Tak jadi soal tulisan itu tidak selesai dalam satu kali hentakan. Tapi setidaknya akan menjadi tabungan berlimpah manakala suatu saat kita mentok dan menemukannya kembali dalam kertas yang berceceran sebagai harta karun yang paling berharga.

Terakhir, saat anda bergairah kembali dalam menulis setelah membaca paparan ini, janganlah anda menyalahkan saya kalau suatu saat nanti anda menjadi salah seorang penulis yang profesional. Dan tanggung sendiri akibatnya! Salam……


Tulisan ini disampaikan dalam acara diskusi:
MEMUNCULKAN GAIRAH MAHASISWA DALAM BIDANG KARYA TULIS
Pembicara: Erlan Suwarlan, S.IP dan Irvan Mulyadie
diselenggarakan oleh: Lingkar Studi Pemerintahan (LSP)
Rabu, 22 Oktober 2008 Jam:12.30-14.00 WIB di Kampus STISIP Tasikmalaya
Bentuk asli tulisan ini berformat Slide Show Presentasion.

Bio Data Penulis :
Irvan Mulyadie, lahir di Tasikmalaya 18 Maret 1981. Aktif dalam berbagai kelompok kesenian di Priangan Timur. Yakni di Teater Dongkrak, Sanggar Sastra Tasik, Kelompok Performance Art KelelaWAR, Keluarga Seni Rupa Tasik, Kelompok Penulis dan Pembaca SK. Priangan, Sanggar Seni Barak, pernah menjadi Badan Pengurus Gedung Kesenian Tasik, Komunitas Matabambu, Direktur Forum Diskusi Kreatif Film Tasik, Eks. wartawan Tabloid Pendidikan Ganesha, Ketua SOK STISIP Tasikmalaya dan kolumnis di beberapa media cetak.

Menulis puisi, cerpen, novel, naskah drama, esai, reportase, makalah seminar seni dan budaya, dan skenario film. Karya-karyanya telah banyak dipublikasikan di banyak media massa baik lokal maupun nasional serta cyber media di internet. Dan karya-karyanya termuat dalam berbagai buku antara lain : Orasi Kue Serabi (GKT, 2001) Poligami (SST, 2003) 6 Penyair Menembus Udara (Universitas Siliwangi, 2003) Sahabat Sunyi (BN, 2004) Lidah Petir (BN, 2004) Langari (B’zar Publishing, 2005), Antologi Puisi Penyair Jabar-Bali (bukupop Jakarta, 2005), Kumpulan Puisi Cinta “Tembang Kembara” (Gaza Publishing Bandung, 2008), Kumpulan cerpen dan puisi Tahun Kabisat (SOK STISIP, 2008) dan anthologi puisi digital Kabar Waktu (Boxidea Publisher, 2008). Dari buku Sahabat Sunyi kemudian lahir film independent dengan judul yang sama dan mendapatkan sambutan yang baik dari berbagai kalangan termasuk pers di Jawa Barat.

Kini ia tercatat sebagai karyawan pada Dinas Permukiman Tata Ruang dan Lingkungan Hidup di Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Karya-karya tulisnya yang lain bisa dijumpai di http://irvanmulyadie.blogspot.com.

Negara Syariah Indonesia (?)


Oleh: Erlan Suwarlan, S.IP

Berawal Krisis Moneter Dunia yang meruntuhkan perkekonomian negara-negara yang lemah, dimana salah satunya adalah Negara Indonesia.

Bank-bank di Tanah Air yang merupakan perwujudan sebuah negara yang sudah modern pun berguguran me-ngalami kebangrutan. Nyaris saja Negara Kita hancur berantakan !
Namun tiba-tiba datang angin segar (angin sorga), perekonomian Negara Kita mulai me-rangkak bangkit setelah bank-bank yang ada menduplikasi diri mendirikan “BANK-BANK SYARIAH”. Dalam tempo yang relatif cepat bank-bank kembali sehat walafiat.

Label SYARIAH nyata-nyata cukup ampuh menjaring nasabah di Negara yang memang mayoritas beragama Islam. Laksana jamur di musim hujan, label bernilai rasa agamis ini pun digunakan oleh pranata-pranata sosial lain yang didirikan, dan laku keras.
Ada yang membuat MLM Syariah, Koperasi Syariah, Warnet Syariah, Kredit Motor Syariah, bahkan saat ini sudah berdiri Sekolah Bisnis Syariah di Tanah Air.
Serba Syariah telah melanda bumi Indonesia. Terlebih ketika Bumi Rencong Aceh mendapatkan hak istimewa sebagai daerah yang memiliki 1/2 kemerdekaan kemudian membuat Perda Syariahnya, beberapa daerah di Tanah Air pun ketularan untuk juga membuat Perda Syariah.

Baru-baru ini kabarnya di Tasikmalaya sempat ada gerakan massa yang mendorong paksa Pemerintah Daerah untuk membuat Perda Syariah seperti di daerah Aceh. Jika kabar ini benar adanya, boleh jadi dalam waktu singkat akan ada Pemimpin Syariah, Politisi Syariah, boleh jadi juga akan muncul Partai Politik Syariah Indonesia Raya.

Nah, bagaimana nanti jadinya bentuk dan sistem pemerintahan Negara Kita?

Kenyataan dan fenomena serba Syariah ini baik sekali untuk dikaji oleh para mahasiswa STISIP Tasikmalaya, sebelum Negara Kita menjadi “NEGARA SYARIAH INDONESIA”.

Penulis adalah dosen STISIP Tasikmalaya, sehari-hari mengajar bidang Ilmu Pemerintahan.

Mahasiswa Menjadi Saksi


Oleh: Ihya Ulumuddin, S.IP

Bahwa diyakini kebenarannya, profesi dan status tertentu pada seseorang melekat juga pada dirinya tanggung jawab yang sangat besar, yaitu sebuah tanggung jawab sebagai saksi hidup dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi.
Salah satunya status sebagai MAHASISWA.

Berbeloknya arah perjalanan sejarah umat manusia di atas dunia ini sejak dahulu kala, tidak terle-pas dari kesaksian para mahasiswa, yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk nyata.

Di zaman Yunani Kuno, para mahasiswa merombak alam pikiran penduduknya yang pagan (pe-nyembah berhala-berhala) lewat kesaksian mereka yang dituangkan dalam karya-karya tulisan filsafat-filsafat mengenai banyak persoalan hidup. Kemudi-an Dunia Arab bersinar dengan tumbuh dan ber-kembangnya pemikiran-pemikiran para mahasiswa-nya yang belajar dari masjid ke masjid pada mula-nya, kemudian berdirinya universitas-universitas yang megah.

Selanjutnya di belahan Dunia Barat, sumbangsih terbesar kemajuan Barat hingga dewasa ini bermula dari dalam kampus-kampus yang dikelola oleh para agamawan. Karenanya para mahasiswa jebolan universitas-universitas yang dikelola para agamawan memiliki kredibilitas yang tinggi, akibat para mahasiswanya banyak melahirkan karya-karya serta pe-mikiran yang luar biasa sebagai kesaksian mereka pada kehidupan.

Demikian juga dengan Indonesia, sejak tahun 1920 sampai 1930, dinyatakan sebagai masa perubahan bandul sejarah Bangsa. Dalam masa itu mulai berdirinya sekolah-sekolah tinggi yang menggembleng para mahasiswa Indonesia. Dari mereka kemudian momentum-momentum kesaksian digelar, dimana yang paling spektakuler adalah “Soempah Pemoeda”, yang notabene adalah bentuk kesaksian para mahasiswa Indonesia untuk mengukuhkan jati diri sebagai bangsa yang merdeka.

Kemudian tumbangnya rezim-rezim yang pernah berkuasa di Tanah Air, tidak lain akibat kesaksian para mahasiswa juga.

Menjadi saksi tidak cukup hanya melihat dan ikut merasakan, tetapi harus menjunjung tinggi kejujur-an dan kebenaran. Kesaksian akan lebih berharga jika diwujudkan dalam karya-karya nyata…


Penulis adalah dosen STISIP Tasikmalaya, sehari-hari mengajar bidang Sistem Budaya Indonesia