Selasa, 24 November 2009

apresiasi

Drawing Irvan Mulyadie

Selasa, 15 September 2009

Jumat, 03 Juli 2009

Impressi Wisata Politik Tasik

Oleh: Irvan Mulyadie


Mungkin bagi sebagian masyarakat, istilah Wisata Politik belumlah begitu akrab di telinga. Yang jadi penyebabnya adalah karena sebagian masyarakat menganggap politik itu sendiri sebagai sebuah ritual serius yang sama sekali terpisah dari kegiatan wisata yang sifatnya menyenangkan. Di luar negeri sana kegiatan seperti ini sudah dikenal atau bahkan menjadi trend pada pertengahan tahun 1990-an. Padahal dalam kebisaan hidup masyarakat kita sendiri dengan disadari atau tidak sudah sering mengadakan atau mengikuti jenis wisata yang satu ini.

Wisata Politik adalah suatu kegiatan/event yang bernuansa politik dan dikemas sedemikian rupa sehingga menarik. Wisata politik bisa bermacam-macam. Mulai dari mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti musium tertentu, mengikuti upacara kenegaraan, peringatan hari-hari besar dalam perjuangan kemerdekaan, bahkan termasuk di dalamnya kegiatan peringatan 17 Agustusan. Lalu bagaimana dengan pilpres 2009 sekarang?

Nah, ini dia hal menarik yang terjadi di Kota Tasikmalaya dalam sepekan ini meski acaranya sudah berkahir pada Selasa, 23 Juni 2009 di jalan Tarumanagara, kemarin. Dimana berbagai elemen masyarakat seperti KPU, LSM, Seniman, tim sukses pengusung Capres-Cawapres 2009-2014, dan pemerintah yang dalam hal ini digawangi oleh Badan Ekbang dan Linmas Kota Tasikmalaya bersatu padu untuk mensukseskan acara Arena Wisata Politik ini. Acaranya cukup luarbiasa. Mengingat materi yang dihadirkan cukup variatif serta ornamen tamu undangan adalah para tokoh penting pengelola negara di Kota Tasikmalaya.

Menurut panitia penyelenggara, Arena Wisata Politik ini dimaksudkan untuk memberikan suatu pencerahan dengan cara yang kreatif kepada masyarakat tentang pentingnya berpartisifasi dalam proses pemilihan presiden dan wakilnya yang sejatinya akan dilaksanakan pada 8 Juli nanti. Bagaimanapun, meski awalnya sempat diwarnai dengan beberapa kendala, toh pada akhirnya mampu terselenggara dengan baik juga.

***

Sesungguhnya, jika melihat pada semangat kebersamaan untuk mewujudkan pemilu damai dalam pilpres 2009 acara Wisata Politik ini sungguh sangat menjanjikan. Terutama ketika dalam kebersamaan ini, masing-masing pihak (tim sukses) peserta pilpres duduk bersama atau berdampingan meskipun terpisah di dalam stand tersendiri. Sehingga kesan saling bermusuhan yang biasanya nampak dan vulgar di hampir setiap pemberitaan mediamassa, kali ini tak terjadi.

Bahkan secara tidak langsung, kegiatan ini mampu mengundang simpati masyarakat untuk mengenal sosok calon presidennya dengan lebih dekat melalui visi dan misi yang diusungnya. Sebab selain akan mendapatkan informasi secara akurat dari sumber yang terpercaya juga akan mendapatkan pengetahuan lebih luas mengenai wacana perpolitikan Indonesia dewasa ini.

Dan hal ini sangat baik. Mengingat semakin hari suasana panas perpolitikan negara kita sedang mengalami puncaknya. Sebab bagi mayoritas masyarakat secara umum, konflik politik yang ditampilkan oleh para elit politik di tingkat tinggi yang masih berjibaku dalam persoalan kampanye dengan teknik saling serang antar kubu terasa mencemaskan. Akibatnya sudah jelas. Secara psikologis, baik disadari maupun tidak disadari mental masyarakat pun akan terganggu.

Ya, mengemas kegiatan politik praktis yang telah dicap sebagai hal tabu sehingga menjadi suatu bentuk arena wisata yang menyenangkan bukanlah perkara yang mudah. Perlu sentuhan kreatif serta niat yang tulus di dalam penyelenggaraannya. Dengan demikian, polemik yang mengatakan bahwa politik itu kotor sedikitnya akan tereliminir. Paling tidak di tataran Grassroot.

Mengutip perkataan Menbudpar Jero Wacik di Bali pada beberapa kesempatan lalu tentang potensi Wisata Politik ini yang menyatakan, dengan sadar wisata diharapkan tidak ada lagi permusuhan politik di masyarakat, karena rakyat bebas menentukan pilihannya sambil terus mengembangkan dan memanfaatkan peluang kepariwisataan yang ada. Tentu saja !


dimuat pertamakali di Harian Priangan 27 Juni 2009

Senin, 22 Juni 2009

PROBLEMATIKA DPRD

(TINJAUAN ANALITIS TERHADAP KOMPLEKSITAS KELEMBAGAAN DPRD)

PENGUATAN KAPASITAS PERAN DAN FUNGSI DPRD
DALAM MEWUJUDKAN PENYELENGGARAAN DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK, EFEKTIF DAN DEMOKRATIS



Desentralisasi dan otonomi daerah sebagai konteks makro cenderung menekankan aspek administrasi pemerintahan. Resentralisasi dan inkonsistensi tindak lanjut desentralisasi telah menghambat optimalisasi kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah. Berbagai dampak negatif dapat diminimalkan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta pengembangan kapasitas pengelolaan tata pemerintahan yang demokratis. Karena DPRD merupakan salah satu lembaga yang paling strategis dalam konteks dan upaya ini, pemahaman yang lebih menyeluruh dalam rangka peningkatan dan pembaharuan kapasitas kelembagaan menjadi semakin penting. Tulisan ini hendak menyampaikan kompleksitas kelembagaan yang penting diperhatikan dalam pengembangan program peningkatan kapasitas dan pembaharuan parlemen di daerah. Secara singkat tulisan ini mengkaji beberapa aspek penting berikut ini. Rendahnya kapasitas legislasi DPRD terjadi karena ia masih mengandalkan masukan pemerintah daerah. Pengembangan kapasitas legislasi cenderung menekankan pada legislatif drafting. DPRD sering dihadapkan pada ketidak-pastian kewenangan dan hasilnya dinilai bertentangan dengan tata urutan perundang-undangan dan kebijakan nasional. Pelaksanaan fungsi penganggaran pun mengalami perkembangan serupa karena pelaksanaan sistem performance budgeting menjadikan fungsi ini bersifat teknis. Selain itu, dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD dinilai mengambil alih fungsi dari lembaga pemerintahan lainnya dan fungsi ini cenderung dipakai sebagai alat politik praktis dalam pemerintahan.
Kapasitas pengembangan tata pemerintahan demokratis juga belum optimal. DPRD dalam banyak kasus justru menjadi contoh yang kurang ideal, karena DPRD belum punya strategi pelembagaannya. Pengarus-utamaan tata tertib DPRD dan perda menurut prinsip-prinsip tata pemerintahan demokratis sangat perlu agar dua mekanisme utama ini memungkinkan DPRD dapat memulai perubahan dari dalam. Untuk menciptakan kondisi yang mendukung, upaya yang lebih menyeluruh diperlukan untuk menciptakan konfigurasi lingkungan yang memampukan.

Demokrasi memang bukanlah bentuk pelaksanaan pemerintahan yang terbaik, karena masih banyak hal yang masih perlu diperdebatkan, namun tidak ada yang lebih baik daripada demokrasi itu sendiri. Sebagai pelaksanaan demokrasi tersebutlah kemudian melahirkan undang-undang No. 32 tahun 2004, implikasi lanjutannya adalah diterapkannya otonomi daerah dengan pelaksanaan desentralisasi dalam pemerintahan di Indonesia. Lahirnya otonomi daerah adalah sebagai buah dari gerakan reformasi 1998. Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menjalankan urusan daerah sesuai dengan kepentingan yang ada di masing-masing daerah.

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut lah banyak permasalahan yang mesti dipahami sebagai sebuah pembelajaran bersama. Mengapa demikian? Otonomi Daerah bukanlah hal yang harus dipahami sebagai sebuah pembagian kekuasaan kepada elit-elit lokal, yang kemudian membawanya ke ranah pemerintahan. Namun otonomi daerah semestinya merupakan sebuah kesempatan untuk membangkitkan peran 3 (tiga) aktor dalam pembangunan, yakni; Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif): sebagai institusi yang bertugas untuk menyediakan iklim politik dan hukum yang kondusif, Sektor swasta: sebagai penyedia lapangan pekerjaan dan penghasilan, dan komunitas masyarakat sipil: sebagai fasilitator interaksi sosial politik dan motivator masyarakat agar mau berperan aktif dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi.

Relasi ketiga aktor tersebut akan sangat menentukan sejauhmana keberhasilan pelaksaanaan pemerintahan di daerah. Jika ketiganya makin mampu bersinergi, maka akan semakin baik kualitas pemerintahan yang akan tercipta. Adapun karakteristik pemerintahan (governance) adalah sebagai berikut:

1.Kompetensi, kompetensi adalah sejauhmana kualitas kemampuan dari para aktor-aktor yang ada dalam membangun daerah. Dalam hal inilah kemudian diperlukan peningkatan kemampuan individu dalam suatu daerah melalui peningkatan Sumber Daya Manusia;

2.Akuntabilitas, adalah bagaimana terciptanya sebuah tanggung gugat mengenai pengelolaan pemerintahan dan keuangan negara. Hal ini sangatlah penting diperhatikan mengingat akan menentukan sejauhmana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan;
3.Partisipasi, partisipasi adalah peran serta. Dalam karakteristik governance partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah merupakan sebuah keharusan. Karena jika masih bersifat top-down dan bukan down-up, sebenarnya pemerintahan desentralisasi belum berjalan maksimal;
4.Transparansi, pentingnya sebuah transparansi merupakan sebuah hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menunjang akuntabilitas di atas. Transparansi di dalamnya mengandung kejujuran dan keterbukaan atas apa yang akan, sedang dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah kepada masyarakat;
5. Rule of Law, Adalah penegakan hukum, penegakan hukum adalah hal yang sangat penting diperhatikan, karena semakin normalnya hukum berjalan pada suatu daerah, maka akan semakin baik sebuah pemerintahan yang ada;
6.Kesetaraan, kesetaraan dalam hal ini dimaksudkan adalah bagaimana peran dari ketiga aktor tersebut dapat berjalan secara sinergi. Ketiganya mampu untuk bekerja sama dengan baik dan saling mengisi kelemahan satu sama lainnya.

Warna lain yang diberikan oleh kehadiran UU 32/2004 tersebut, adalah adanya sistem multi partai, Pilkada, dan Pemilu (DPR, DPD, DPRD Prov, DPRD Kab./Kota). Akibat dari adanya aturan tersebut, maka kepala daerah, anggota DPR, DPD, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota harus dipilih melalui pemilihan langsung. Berkaitan dengan pemilihan langsung, terutama yang untuk menciptakan pemerintahan di daerah, tentunya sangat diharapkan akan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada anggota dewan.

Namun dari survey Asia Barometer 2004 terlihat jelas bahwa ketika responden ditanya institusi mana yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, hanya 11,2% responden yang sangat mempercayai Parlemen, dan hanya 8,1% untuk partai politik. Oleh karena itu, ini merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh DPRD di Indonesia dalam meningkatkan performance di depan publik.

Kalau proses delegitimasi terhadap institusi perwakilan politik di daerah itu terus menerus terjadi maka hal tersebut bisa menimbulkan beberapa kosekuensi: pertama, tidak akan terselenggaranya sistem perwakilan yang diharapkan, yang mampu untuk membangkitkan pembangunan yang partisipatif. Kedua, selain bisa menimbulkan kosekuensi melemahnya check and balances, proses delegitimasi DPRD akan menimbulkan fenomena mobocracy, dimana keterlibatan warga dalam proses politik-kebijakan dijalankan dengan cara tidak terlembaga sehingga kontestasi politik akan ditentukan oleh sejauhmana kemampuan untuk memobilisasi massa dan dukungan politik.

Permasalahan yang dihadapi oleh DPRD tersebut tidak terlepas dari kemampuan Dewan sendiri. Untuk itu dalam melakukan pengawasan, kemampuan anggota dewan akan sangat tergantung pada kapasitas yang dimilikinya, baik problem kewenangan, teknokratis, maupun institusional. Adapun problem yang biasa dihadapi oleh anggota dewan adalah sebagai berikut:

1. Problem Kapasitas Politis
Problematika dalam kapasitas politis bisa dilihat dari lemahnya kapasitas politik anggota Dewan dalam mengelola interaksi politik internal mereka dan energi publik yang berkembang. Deadlock dan aksi walk out di gedung Dewan merupakan contoh dari lemahnya kapasitas politik tersebut. Kondisi tersebut sering terjadi karena masing-masing anggota/fraksi yang mencerminkan suara partai politik- tidak lagi bisa menegosiasikan ide-idenya kepada anggota/fraksi lainnya atau mengkonversi ide fraksinya menjadi ide bersama.

2. Keterbatasan Kapasitas Teknokratis
Rendahnya kapasitas teknokratis dan kompetensi tersebut tidak terlepas dari salah satu dilema demokrasi yang hingga kini sukar terpecahkan, yakni bahwa mekanisme kompetisi yang ada di dalamnya seringkali menjebak kita pada "tirani" popularitas. Seseorang terpilih menjadi anggota Dewan lebih karena popularitas yang dimilikinya atau kuatnya dukungan dari masyarakat. Setiap kompetisi yang berlangsung dalam pesta demokrasi tidak pernah mensyaratkan prasyarat kompetensi.

Terkait dengan hal itu, setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan rendahnya kapasitas teknokratis dewan dalam menjalankan fungsinya ini, yaitu:

(a). Problem kaderisasi, yakni tidak semua partai politik -sebagai basis input anggota Dewan- secara serius mempersiapkan kader-kadernya untuk menjadi pembuat kebijakan yang handal;

(b). Perbedaan basis kelembagaan antara institusi Dewan dengan insitusi eksekutif, terutama dalam proses pembuatan kebijakan. Dilihat dari basis utamanya, Dewan merupakan lembaga yang berbasis partai politik.


Sedangkan eksekutif berbasis birokrasi. Selama ini, partai politik di Indonesia lebih merupakan kendaraan untuk mendulang suara daripada sebagai penyerap aspirasi.
Sementara itu, birokrasi merupakan sebuah institusi yang relatif kaya dengan ide-ide kebijakan. Tidak mengherankan bila partai politik tidak pernah serius mempersiapkan kompetensi anggotanya untuk menjadi perumus kebijakan sebagaimana dilakukan oleh birokrasi.

Basis Perbedaan Kapasitas Teknokratis Partai Politik/Dewan/Birokrasi

(1) Basis Kekuasaan
Sebuah partai politik yang berkuasa atau masuk ke dalam Dewan merupakan representasi dan wadah aspirasi rakyat.
Birokrasi punya keahlian, pengalaman, informasi, profesional, dan lain-lain.

(2) Tugas/fungsi
Membawa aspirasi publik dan membuat keputusan politik.
Menjalankan/ melaksanakan keputusan dan memberikan pelayanan publik.

(3) Pendekatan
Partai/dewan menerapkan pendekatan 'politik' dan populis.
Birokrasi menerapkan pendekatan yang administratif-birokratik dan teknokratik.

(4) Pola Rekrutmen
Pejabat politik/anggota Dewan dari partai dipilih melalui PEMILU.
Birokrat diseleksi/diangkat lewat sistem karir yang didasarkan pada prinsip-prinsip teknokratis

3. Keterbatasan Kapasitas Institusional
Meskipun berbagai peraturan yang ada sudah memberikan ruang politik yang jauh lebih luas bagi anggota Dewan namun desain kelembagaan Dewan yang ada tidak pernah berubah. Lembaga legislatif berikut alat kelengkapan dan supporting system lainnya yang ada tidak mampu menopang optimalisasi kerja-kerja anggota Dewan. Ketidakjelasan dalam upaya pembaharuan institusi dewan dapat dilihat antara lain dari:

(a)Alat kelengkapan dan supporting system lainnya yang ada di dalam lembaga Dewan tidak mampu menopang optimalisasi kerja-kerja anggota Dewan. Pola hubungan Setjen/Setwan dengan anggota Dewan dan alat kelengkapan Dewan masih mewarisi format kelembagaan lama, dimana Setwan tidak lebih dari menjadi birokrasi yang ditanamkan di lembaga para politisi untuk mengkontrol dan menjadi telik sandi (agen) pemerintah terhadap kerja-kerja anggota Dewan. Kaitan dengan fungsinya, peran Setwan ternyata hanya dominan dalam memberikan dukungan administratif tapi sangat minim dalam memberikan dukungan substantif. Bahkan tak jarang pada kondisi tertentu, ada pola hubungan yang tidak sehat antara anggota Dewan dengan para birokrat di Setwan. Setwan dimanfaatkan oleh para politisi di Dewan untuk terlibat secara kolutif dalam berbagai proses manipulasi, seperti manipulasi laporan anggaran. Di sisi lain berharap akan adanya peran lembaga pendukung di dalam tubuh partai politik mereka juga tidak cukup menjanjikan. Hingga saat ini mungkin masih susah membayangkan adanya anggota Dewan yang berusaha merespon kebijakan pemerintah dan menawarkan alternatif dan opsi kebijakan yang berbeda dengan berbekal basis informasi dan data serta analisa yang diperolehnya dari lembaga lembaga pemikiran (think tank) partainya. Itu menunjukkan bahwa politik masih terlalu berkutat pada fungsi rekutmen politik dan artikulasi politik mereka dan menelantarkan fungsi lainnya, yaitu sebagai sumber referensi alternatif kebijakan. Maka tak mengherankan bila para anggota Dewan mengeluh dan meminta kenaikan gaji dengan alasan yang tampak sangat rasional, yakni mereka butuh uang yang cukup untuk menggaji banyak staf ahli dan orang dan mempersiapkan data base mereka sendiri dalam menjalankan peran dasar dan fungsi Dewan. Tiadanya lembaga pendukung yang mapan secara kelembagaan memaksa mereka sedikit kreatif untuk merekrut staf ahli. Merekalah yang nantinya akan memberikan sumber dan masukan informasi kepada anggota Dewan untuk dapat menghasilkan alternatif kebijakan yang handal.

(b)Kekaburan prosedur dan mekanisme kelembagaan. Kondisi ini misalnya sangat terasa saat anggota Dewan harus mengejawantahkan peran-peran pengawasan mereka. Ketidakjelasan prosedur dan mekanisme yang ada membuat seringkali peran pengawasan mereka tumpang-tindih dengan peran badan pengawas fungsional lainnya. Kalaupun prosedur dan mekanisme tertentu sudah dirumuskan, bentuk kepatuhan akan seluruh mekanisme dan prosedur yang ada justru menjebak anggota Dewan pada proseduralisme dan formalisme. Semua prosedur dan mekanisme yang ada justru membatasi ruang gerak dan manuver anggota Dewan untuk memperjuangkan subtansi kebijakan yang ingin dicapai.

Salah satu contohnya ketika DPRD menjalankan fungsi pengawasan. Dalam fungsi pengawasan, DPRD seringkali mengalami problematika institusional. Problematika institusional itu bisa dipetakan sebagai berikut: Pertama. belum terlembaganya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD. Sehingga, pengawasan yang dijalankan cenderung tidak sistematis; baik dalam agenda maupun strategi. Selain itu, DPRD juga belum memiliki SOP yang bisa menjadi pegangan dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Problematika institusional yang kedua adalah lemahnya sistem pendukung dalam menjalankan fungsi pengawasan. Lemahnya sistem pendukung itu bisa dilihat dari kesekretariatan yang tidak mempunyai kualifikasi dalam mendukung fungsi pengawasan; tidak adanya staf ahli; belum tersedianya sistem informasi dan data yang akurat baik akses data/informasi ke eksekutif maupun dari masyarakat; dan ketersedian anggaran.

Problematika berikutnya menyangkut kesiapan dalam membangun networking dengan lembaga terkait. Dalam banyak kasus, DPRD terlihat belum mampu membangun dukungan publik dalam menjalankan fungsi pengawasan. Disamping itu, DPRD belum banyak memanfaatkan kapasitas dan hasil kerja institusi lain, seperti lembaga pengawasan pemerintah, kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan.

Berangkat dari berbagai macam prolematika yang dihadapi dewan dalam menjalankan fungsi-fungsinya, supaya dewan dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan optimal, maka diperlukan agenda penguatan kapasitas fungsi legislatif. Ide-ide peningkatan kapasitas bukan sekedar rangkaian aktivitas transfer sumberdaya material dan memberikan training terhadap individu dan organisasi. Proses peningkatan kapasitas adalah proses untuk menempatkan institusi dan individu ke dalam sistem yang ada dalam konteks manajemen strategik. Oleh karena itu ada 3 level penting yang mesti mengalami intervensi secara simultan saat melakukan penguatan kapasitas, yaitu sistem, organisasi dan individu yang bisa menjadi titik tolak dalam rangka capacity building lembaga legislatif, yaitu level sistemik, level organisasi/ institusional, dan level individu.

1. Level Sistemik
Lingkup penguatan kapasitas pada level ini lebih difokuskan pada kerangka regulasi (peraturan perundangan-undangan dan kebijakan pendukungnnya) dan penguatan lingkungan kebijakan baik secara regional maupun nasional. Peningkatan kapasitas pada level ini berusaha untuk menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang memungkinkan dan yang membatasi (pengatur) bagi dewan, dan dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya. Dalam konteks DPRD, penguatan kapasitas di level sistemik diwujudkan melalui perumusan regulasi yang tidak multitasfir atau bermakna sumir, khususnya terhadap berbagai kebijakan dari yang mengatur kinerja dewan dalam kaitannya menjalankan fungsi-fungsinya. Ketidakjelasan dalam berbagai regulasi jika tidak diantisipasi akan membuat dewan terjerumus dalam berbagai kasus korupsi di daerah, dan seringkali mereka dijadikan sebagai kambing hitam.

2. Level Organisasi/Institusional
Lingkup penguatan kapasitas pada level ini fokus pada organisasi-organisasi khusus, terutama tingkat badan/lembaga teknis atau lembaga pengantar layanan (service delivery) dengan struktur organisasi tertentu, proses-proses kerja, dan budaya kerja. Menganalisa sistem dan manajemen informasi sumberdaya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, sistem pengambilan keputusan. Meskipun sumberdaya material menjadi fokus awal dalam peningkatan kapasitas di level ini, akan tetapi struktur organisasi, budaya, pola hubungan organisasi dengan organisasi lainnya menjadi fokus yang sama-sama pentingnya. Dalam konteks DPRD yang menjadi fokus adalah Penguatan Kelembagaan Dewan beserta pendayagunaan sistem pendukungnya (Sekretariat Dewan/Setwan). Peran dan fungsi anggota Dewan hanya akan bisa optimal bila disertai kemampuannya untuk mengelola berbagai sumber energi dan daya dukung yang terdapat di dalam dan di luar tubuh Dewan.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa pengembangan dan pendayagunaan supporting system menjadi sangat penting, yaitu:

(a) Teknikalitas mempunyai kontribusi politik yang tinggi;
(b) Beban individual anggota dewan bisa direduksi dengan penguatan kapasitas supporting system (peran daya dukung administratif);
(c)Mengurangi politik biaya tinggi karena banyak resiko yang akan muncul
dari ketidakpastian dan tidak adanya konsensus (peran daya dukung politis).
Oleh karena itu sebagai penopang kerja Dewan, maka Setwan tidak bisa bekerja tanpa pengarahan dan masukan dari Dewan, sehingga mengoptimalkan kerja Dewan juga berarti mendukung peningkatan kapasitas Setwan dan meningkatkan komunikasi antara anggota Dewan dengan Sekwan.

3. Level Individu
Lingkup penguatan kapasitas pada level ini fokus pada upaya penguatan kapasitas individu agar mampu mengemban segala tanggung jawab profesional dan teknis mereka. Yang menjadi titik berat perhatian adalah keahlian dan kompetensi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja, pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan etika. Dalam konteks DPRD setidaknya ada 3 agenda penguatan yang urgen untuk dilaksanakan dalam rangka peningkatan kapasitas dan kompetensi dewan, meliputi: Agenda penguatan kapasitas teknokratis anggota Dewan dan Agenda penguatan kapasitas politik anggota Dewan.

3.1. Agenda penguatan kapasitas teknokratis anggota Dewan.
Kemampuan dan kapasitas teknokratis anggota Dewan merupakan prasyarat penting bagi optimalisasi peran dan fungsi legislatif. Hal tersebut tidak bisa dinafikan begitu saja karena anggota Dewan harus mampu merumuskan sebuah kebijakan yang akurat dan koheren. Keahlian teknokratis tersebut merupakan keahlian yang terkait dengan kemampuan anggota Dewan dalam mengenali dan mengelola 3 medannya, yaitu: legislasi, penganggaran dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsi legislasi, misalnya anggota Dewan diharapkan tidak hanya menguasai kemahiran dalam membuat undang-undang, tetapi dewan juga dituntut untuk dapat mengidenfikasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu dewan juga dituntut untuk bisa melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat supaya mendapatkan legitimasi di mata publik. Begitu juga dalam melaksanakan fungsi penganggaran dan pengawasan, anggota dewan dituntut untuk mampu menyesuaikan kemampuan sumber daya yang ada dengan kualitas kebijakan yang diinginkan sekaligus mampu mengawasi dan memonitor pemerintah untuk memastikan adanya kesepakatan yang terdokumentasikan dalam produk perundang-undangan/peraturan dan anggaran yang ada dijalankan dengan baik oleh pemerintah dan sesuai dengan hasil (output) dan dampak (outcome) yang diharapkan.

3.2. Agenda penguatan kapasitas politik anggota Dewan.

Agenda peningkatan kapasitas politik anggota Dewan merupakan agenda peningkatan kemampuan anggota Dewan untuk membangun dan menggalang koalisi dalam rangka meng-gol-kan isu tertentu dengan memanfaatkan jaringan yang ada. Oleh karena itu ada dua dimensi penting dalam kapasitas politik tersebut, yaitu:

(a)Koalisi. Kapasitas politik anggota Dewan sangat erat hubungannya dengan kemampuannya untuk membangun kesepakatan dan kekuatan bersama dengan menggalang koalisi di dalam tubuh Dewan. Kemampuan koalisi sangatlah penting karena setiap keputusan yang dihasilkan di dalam Dewan mensyaratkan adanya kesepakatan bersama dan mendapat pengakuan legitimasi dari seluruh anggota Dewan.

(b)Jaringan. Kapasitas politik anggota Dewan juga terkait dengan kemampuannya memanfaatkan jaringan yang ada di dalam tubuh Dewan maupun dengan di luar tubuh Dewan sebagai sarana untuk mengakses dan mengkomunikasikan berbagai aspirasi kepada semua stakeholders yang terlibat dalam sebuah proses kebijakan.


SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK TASIKMALAYA
Jl. Gunung Pongpok III No. 29 P.O. BOX 110 Tasikmalaya Telp./Fax (0265) 341748
E-mail : stisiptasik.lppm@gmail.com

Tulisan ini dikirimkan oleh : Erlan Suwarlan, S.IP

Selasa, 09 Juni 2009

SEKILAS BIROKRASI INDONESIA DARI ZAMAN KE ZAMAN


Oleh: Erlan Suwarlan,S.IP


Pengertian
Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu bureau ( burra, kain kasar penutup meja), dan-cracy,ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Berbagai sumber berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama, birokrasi diartikan sebagai “ government by bureaus,” yaitu pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal, baik publik maupun privat ( Riggs dalam Ndraha, 2003;513) ; pemerintahan birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang-diperintah. Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu, sifat kaku,macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa ( Kramer dalam Ndraha, 2003;513). Ketiga, birokrasi sebagai tipe ideal organisasi. Biasanya dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif.

Birokrasi Zaman Kerajaan
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
1)Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
2)Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3)Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4)“Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja;
5)Para pejabat kerajaan dapat ertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja.

Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat ( keratin), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri ( wedana lebet ) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator ) pepatih lebet ). Pejabat – pejabat kerajaan tersebut masing – masing membawahi pegawai ( abdidalem ) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja menunjuk bupati –bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.

Birokrasi Zaman Kolonial
Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial ( binnenlandcshe Bestuur ) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih tetap dipertahankan.

Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari – hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama
Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan – perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus kea rah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI,tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.

Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Program – program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh.Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1)Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi
2)Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat
3)Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara – Negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara – Negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara – Negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara – Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak – tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan – kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.

Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.

Membangun Paradigma Baru
Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri. Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.

Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut ( sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun paradigma baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa birokrasi perlu mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi dan pegawasan dari atasan. Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah dan birokrasi bertindak mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat; menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat; memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya organisasi saja.

Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya :
1)Adanya keinginan perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
2)Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil – wakil kelompok kepentingan dalam masyarakat.
3)Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
4)Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto,Agus dkk.2006.Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
Ndraha,Taliziduhu.2003. Kybernology, PT Rineka Cipta : Jakarta
Rozi,Syafuan.2006.Zaman Bergerak Birokrasi Dirombak, Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Senin, 08 Juni 2009

MENATA ULANG KONSTITUSI NKRI MENUJU TERCIPTANYA WELFARE STATE


Oleh : Erlan Suwarlan,S.IP

Abstrak
Agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah Negara demokrasi konstitusional. Sebab,transformasi ke arah pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberikan dasar bagi berbagai agenda demokrasi lainnya. Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya constitutional reform yang sebenarnya.

Latar Belakang Permasalahan : Konteks Sosio-Historis
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada tiga macam Undang Undang Dasar yang pernah berlaku yaitu : UUD 1945,yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 ; Konstitusi RIS ; UUDS 1950,yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai Juli 1959 ; UUD 1945,yang berlaku sejak dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959. Dalam keempat periode berlakunya ketiga macam undang – undang dasar itu, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No.7.

Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang. Melalui Dekrit itu telah dinyatakan berlaku kembali UUD 1945. UUD 1945 merupakan salah satu konstitusi yang paling singkat dan sederhana di dunia yang hanya terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat tambahan yang mengatur lima unsur yaitu: kekuasaan Negara, hak rakyat, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sejarah pembuatannya yang kilat menyebabkan Soekarno pada waktu pemberlakuan UUD 1945 pada Tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan bahwa :
“ Undang – Undang Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang – Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang – Unadang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang – Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.”

Perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara, tidak lapang jalannya. Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara Republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak menjalankan pasal – pasal dari UUD. Yang kita gunakan adalah pasal peralihan. Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya dipilih oleh MPR menurut pasal 6 ayat 2 UUD 1945 ternyata dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menurut Pasal III Aturan Peralihan. Namun, hal ini bisa dimaklumi karena ini adalah sesuatu yang pertama kali di dalam mengantar kepada adanya suatu Negara. Letak keabsahan lembaga ini bukan pada saat pembentukan dan pada waktu bekerjanya, tetapi adalah diterimanya hasil – hasil karyanya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Jatuhnya Soeharto Dan Perubahan Politik Indonesia
Politik Indonesia akhir abad ke-20 ditandai oleh suatu perubahan politik luar biasa, yaitu jatuhnya Soeharto secara dramatis pada tanggal 21 Mei 1998 melalui gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, didukung intelektual kampus dan LSM yang memperoleh dukungan luas dari publik Indonesia. Tidak satu pun orang pada waktu itu bisa membayangkan bahwa Soeharto akan jatuh dari kekuasaannya secara dramatis seperti itu. Jatuhnya Soeharto menandai berakhirnya era rezim otoritarian yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun sehingga membuka peluang suksesi kepemimpinan nasional kepada B.J.Habibie. Selain itu terjadi dinamisasi luas bagi bangsa Indonesia untuk mereformasi secara struktural seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik politik, ekonomi dan hukum.

Kehancuran rezim otoritarian Soeharto dimulai ketika situasi politik menjadi tidak menentu akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak Tahun 1997 dan semakin buruk ketika nilai rupiah terpuruk terhadap dolar AS sampai 170 persen. Pada Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih sekitar Rp 2.433,00 menjadi Rp 8.300,00 pada awal Januari 1998 dan sampai mencapai Rp 17.000,00. Hal tersebut merupakan suatu apresiasi nilai dolar AS kepada rupiah yang tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Hal ini berimplikasi pada kehancuran ekonomi Indonesia. Inflasi sangat tinggi akibat kenaikan harga bahan kebutuhan pokok yang tidak terkendali. PHK terjadi secara bergelombang,terutama pada perusahaan yang produksinya bergantung kepada bahan baku impor. Pengusaha tidak mampu lagi membeli bahan pemasok karena harus membeli dengan dolar Amerika. Ongkos produksi menjadi sangat tinggi sehingga pengusaha tidak mampu membayar gaji pekerja. Lebih dari 2 juta orang kehilangan pekerjaan terutama dari sektor tekstil, garmen, industri sepatu dan perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan konstruksi.

Situasi politik juga semakin memanas akibat kebijakan pemerintah dan militer yang tidak populer. Penculikkan para aktivis mahasiswa menjelang Sidang Istimewa MPR Tahun 1998, penunjukkan para kroni sebagai menteri kabinet seperti Muhammad Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan dan Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Sosial, kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik semakin memicu kemarahan mahasiswa. Tuntutannya tidak lagi berkisar pada penurunan harga, tetapi mulai menutut Soeharto untuk turun dari kekuasaan. Meluasnya ketidakpuasan dan kemarahan rakyat disertai demonstrasi mahasiswa yang didukung LSM, menjadi salah satu faktor pendorong semakin cepatnya kejatuhan Soeharto. Disamping itu, juga ada faktor-faktor lain yang berpengaruh seperti : konspirasi elite domestik, perpecahan faksi – faksi dalam tubuh militer dan pengunduran diri empat belas menteri kabinet Soeharto secara mendadak, serta tekanan eksternal (dunia internasional).

Salah satu konspirasi elite yang menonjol dan cukup kontroversial adalah pernyataan Pimpinan DPR pada tanggal 18 Mei 1998 yang ditandatangani oleh Harmoko, Ismail Hasan Metareum, Fatimah Ahmad, Abdul Gafur dan Syarwan Hamid yang meminta Soeharto untuk turun dari jabatannya. Ironis, sebab Harmoko merupakan seorang kepercayaan Soeharto yang waktu itu merupakan Ketua Umum Golkar. Harmoko inilah yang sebelumnya mendorong Soeharto untuk maju lagi dalam pemilihan Presiden pada pasca-pemilu 1997.

Pengunduran diri empat belas menteri secara mendadak juga semakin menurunkan legitimasinya pada tingkat yang paling rendah. Mereka antara lain : Akbar Tanjung, Ginanjar Kartasasmita, Theo Sambuaga, Fuad Bawazier, Harjanto Danutirto, Alwi Dahlan, Subiakto Tjokrowardoyo, Kuntoro Mangkusubroto, Tanri Abeng, Giri Suseno, Justika Baharsyah dan lain – lain. Hampir seluruh menteri itu merupakan orang kepercayaan Soeharto, namun meninggalkannya ketika situasi politik tidak lagi berpihak pada Soeharto.

Selain itu, para tokoh reformasi seperti Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri pada waktu itu membangun barisan konsolidasi menolak usulan paket reformasi yang disampaikan Soeharto. Tadinya Soeharto berharap banyak dari Nurcholis Madjid – seorang tokoh reformasi moderat untuk meneduhkan situasi,namun ia pun menolak paket reformasi dari Soeharto. Hilanglah harapan Soeharto.

Urgensi Perubahan
Perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma perubahan agar perubahan terarah sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma ini digali dari kelemahan sistem bangunan lama, dan dengan argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Paradigma itu mencakup nilai – nilai dan prinsip – prinsip penting yang mendasar atau jiwa (gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan atau penyusunan konstitusi baru. Disamping persoalan paradigma dalam perubahan konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur perubahan, mekanisme yang dilakukan, sistem perubahan yang dianut dan substansi yang akan diubah.

Setiap konstitusi tertulis lazimnya selalu memuat adanya klausula perubahan di dalam naskahnya, sebab betapa pun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD. Selain itu, konstitusi sebagai acuan utama dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu kontrak sosial yang merefleksikan hubungan – hubungan kepentingan dari seluruh komponen bangsa yang sifatnya dinamis. Dengan demikian, konstitusi memerlukan peremajaan secara periodik karena dinamika lingkungan global akan secara langsung atau tidak langsung menimbulkan pergeseran aspirasi masyarakat.

Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan semakin mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, gerakan reformasi diharapkan mampu mendorong perubahan fundamental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai – nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan serta persaudaraan. Pada awal reformasi, muncul berbagai tuntutan reformasi yang didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, termasuk mahasiswa dan pemuda. Tuntutan itu antara lain :

1).Amandemen UUD 1945 ;
2)Penghapusan doktrin dwifungsi ABRI ;
3)Penegakkan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme ;
4)Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah ;
5)Mewujudkan kebebasan pers ;
6)Mewujudkan kehidupan demokrasi.

Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuasaan sosial politik didasarkan pada pandangan bahwa UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat dan penghormatan HAM. Selain itu, di dalamnya terdapat pasal – pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan Negara yang otoriter, sentralistik, tertutup dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai kehidupan. Aspirasi perlunya perubahan UUD 1945 sesungguhnya telah muncul pada masa orde baru. Namun, karena situasi represif pada masa itu,berbagai gagasan perubahan konstitusi itu tidak mendapat tempat dan hanya hidup di kalangan terbatas dan tidak menjadi wacana publik. Gagasan perubahan konstitusi itu baru menemukan momentumnya ketika muncul gerakan reformasi pada tahun 1998.

Sejak terjadinya reformasi, UUD 1945 yang “disakralkan” mengalami desakralisasi. Gagasan perubahan menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakkan lagi. Mengapa UUD 1945 harus dilakukan perubahan ? berbagai alasan dapat dikemukan mengapa perubahan itu penting dan harus dilakukan misalnya :
1.Secara filosofis karena UUD 1945 adalah moment opname dari berbagi kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya konstitusi itu, setelah 54 tahun kemudian tentu terdapat berbagi perubahan baik di tingkat nasional maupun global.Disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan.

2.Secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain :
pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai prinsip check and balances yang memadai sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy.
Kedua,rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar sangat sederhana, umum bahkan tidak jelas sehingga menimbulkan multitafsir.
Ketiga, unsur – unsur konstitisionalisme tidak dielaborasi secara memadai.
Keempat, terlalu menekankan pada semangat penyelenggaraan Negara.
Kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada presiden untuk mengatur berbagai hal penting dengan Undang Undang.
Keenam, banyak materi muatan yang penting justru diatur dalam Penjelasan UUD. Ketujuh, status dan materi penjelasan UUD 1945. Persoalan ini sering menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan, karena banyak materi Penjelasan yang tidak diatur di dalam pasal – pasal UUD 1945, misalnya materi Negara hukum, istilah mandataris MPR, pertanggungjawaban Presiden dan seterusnya.

Tahap Perubahan
Dalam rapat – rapat Panitia Ad Hoc III (PAH) Badan Pekerja MPR masa sidang 1999 sebelum sampai pada kesepakatan mengenai materi rancangan perubahan UUD 1945, terlebih dahulu disepakati dua hal : kesepakatan untuk langsung melakukan perubahan tanpa menetapkan UUD 1945 terlebih dahulu dan kesepakatan dasar antar fraksi MPR dalam melakukan perubahan UUD. Fraksi – fraksi di MPR menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 tidak menyangkut dan mengganggu eksistensi Negara, tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan Negara agar lebih demokratis, seperti disempurnakannya sistem check and balances dan disempurnakannya pasal – pasal mengenai hak asasi manusia.

Sebagai konsekuensi logis dari kesepakatan itu, perubahan dilakukan terhadap pasal – pasal, bukan terhadap pembukaan UUD 1945. Di tengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari : 1) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. 2)Tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3)Mempertegas sistem pemerintahan presidensial. 4)Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal – hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal – pasal. 5)Perubahan dilakukan dengan cara “ addendum”.

Tahapan perubahan tersebut adalah :
1) 19 OKTOBER 1999; 9 PASAL, 13 AYAT ; KEKUASAAN, KEMENTRIAN, DPR.

2) 18 AGUSTUS 2000 ; 7 BAB, 25 PASAL, 51 AYAT : HILANGYA TNI/POLRI/UG, PEMDA,DPR,WILAYAH NEGARA,WARGA NEGARA, BENDERA/BAHASA, HANKAM,LUAR NEGERI.

3) 9 NOPEMBER 2001; 3 BAB, 23 PASAL, 64 AYAT : MENYEMPURNAKAN KEDAULATAN RAKYAT, PILPRES/IMPEACHMENT/PEMILU,DPD,BPK,MK,KY.

4) 10 AGUSTUS 2002; PASAL 2, 6A;4 8; 1-2 : PENGHAPUSAN DPA,AGAMA, KOMPOSISI MPR,PILPRES PUTARAN II, ATURAN PERALIHAN/TAMBAHAN


Erlan Suwarlan,S.IP., lahir di Tasikmalaya, 7 April 1977. Adalah Dosen Tetap/Staf Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Tasikmalaya.

Senin, 18 Mei 2009

Saat Angin Puting Beliung Menyapa Cikalong

S e b u a h C a t a t a n P e r j a l a n a n
Oleh : Irvan Mulyadie



Cikalong, 15 Mei 2009 sekira jam 14.00 WIB, merupakan sebuah kenangan yang tak mudah untuk kulupakan. Karena bagaimana pun, pada hari itulah Tuhan telah memberikan sebuah peringatan. Tidak hanya bagiku, tapi bagi semua orang yang merasakan, menyaksikan, atau setidaknya melihat, membaca atau mendengarkannya di media massa.

Sesuatu telah terjadi di siang hari penuh tragedi. Beberapa saat setelah orang-orang muslim menunaikan ibadah shalat Jumat. Jumat yang rapuh. Dan hari Jumat yang menggoreskan sebuah keluh. Di Cikalong* itulah bencana angin puting beliung itu terjadi.

Potret Bencana
Meskipun tak seburuk bencana tsunami yang melanda kecamatan ini beberapa yang tahun lalu, tapi ternyata bencana ini tak lebih baik dari wajah dunia perpolitikan Indonesia yang kini sedang carut marut. Saat bencana itu berlangsung aku berada dari tempat kejadian perkara dengan jarak hanya beberapa puluh meter saja. Tapi nyaris tak kusadari.

Kejadian angin puting beliung yang disertai dengan hujan es ini hanya berlangsung sekitar 2 menit saja. Tapi hasilnya....??? Subhanallah. Kerusakan hebat menerpa ratusan rumah di Kecamatan Cikalong. Salah satunya di Kampung Sindangsari Desa Sindang Jaya. Lokasi dimana aku sempat beristirahat untuk sekedar makan dalam sebuah perjalanan dinas yang cukup melelahkan bersama seorang sahabat.

Saat kami mulai bergerak dari tempat kami berteduh sebelum hujan benar-benar reda. Ada ratusan pohon yang tumbang menghalangi jalan. Kami tertegun dan terhenti beberapa saat ketika orang-orang begitu panik serta saling mengabari akan adanya bencana itu. Instingku terpicu untuk membelokan mobil ke arah lokasi bencana dari tujuan semula: Pulang!

Benar saja. Dimana-mana aku temui jejak-jejak angin itu. Puluhan bangunan rumah tercerabut genting-gentingnya. Dan berubah menjadi puing-puing yang basah. Di suatu pojok jalan Ponton di Cirojeh, kami berhenti tanpa sadar. Tepat di depan rumah yang sudah hampir rata dengan tanah.

Namanya Mustafa (39), lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai penyadap kelapa dan pembuat gula itu tengah memandang kosong ke arah gubuk miliknya. Disampingnya, seorang perempuan menggendong bayi dengan 2 orang anaknya yang lain dan masih kecil-kecil. Mereka basah kuyup dengan mata yang kelelahan menahan tangis. Aku tertegun demi melihat apa yang tengah berlaku di hadapanku. Sebuah tragedi memaparkan ceritanya dengan pedih. Mungkin, riwayat seorang mustafa akan sedikit bisa menggam-barkan tentang betapa berartinya sebuah rumah pada kita. Ya, terutama bagi seorang tunawisma yang sudah setahun berjuang penuh mendirikan tempat berteduh meskipun hanya di tanah orang ini.

Ketika bencana itu datang menghampiri, Mustafa sedang menghadapi kuali dengan adonan Nira untuk membuat gula. Sementara istri dan ketiga anaknya sedang pulas dalam mimpinya diantara hujatan petir dan deru hujan yang meninabobokan. Mereka tak mengira bunyi derak dan gemuruh di atas genting adalah gumpalan es yang menerjang. Sadar-sadar ketika rumahnya bergerak kencang. Hampir bersamaan, genting rumahnya jatuh dan terpecah di atas tanah. Untung saja Mustafa berhasil menyela-matkan seluruh anggota keluarganya. Meskipun kenyataan membuat mereka harus menyaksikan sendiri perjuangan yang lebih dari setahun itu hancur di depan mata.

Lain lagi dengan cerita Uni, warga sekampung Mustafa yang sama-sama panik ketika bencana itu datang menyapanya. Ia keluar dari rumah dengan maksud untuk menyelamatkan diri. Bahkan ia berusaha untuk tetap sadar dan meminta perlindungan tuhan dengan menguman-dangkan adzan. Namun malang, saat tengah azdan itulah sebongkah es membentur tepat pada sebelah matanya. Sehingga akibat benturan tersebut mata Uni pun tak melihat dan harus dilarikan ke tempat pelayanan kesehatan. Tercatat, ada 124 rumah yang terimbas angin puting beliung di Desa Sindang-jaya ini. Empat rumah dinyatakan Rusak total sedangkan sisanya hanya rusak ringan. Menurut pantauanku, tak dilaporkan adanya korban jiwa di kejadian ini. Hanya dua orang saja yang terluka cukup serius akibat tertimpa bagian pohon kelapa dan tertimpa es.


Renungan
Hanya saja yang tak habis kumengerti adalah banyak orang yang memanfaatkan situasi ini sebagai ajang untuk mendapat keuntungan pribadi. Misalnya saja ketika sedang dilakukan pendataan banyak orang yang mengantri dan ngotot untuk dicatat sebagai korban bencana. Padahal kalau dilihat di lapangan Cuma kehilangan beberapa buah genteng saja. Entahlah. Mungkin mereka mengira akan mendapat penggantian ganti dari pemerintah. Atau mungkinkah ini adalah pertanda efek buruknya BLT dan tragedi tsunami di masalalu?

Kecamatan Cikalong terletak antara 107 00-107 00 BT dan 5 50-6 30 LS dan terletak dibagian selatan Kabupaten Tasikmalaya. Dari Kota Tasikmalaya jaraknya ± 80 Km. Secara fisik Kecamatan Cikalong mempunyai luas 13291,966 Ha. Jumlah penduduknya lebih dari 54.640 orang dengan mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani (70,42%).