Minggu, 14 September 2008

Puasa Dan Kepekaan Sosial

Oleh: Irvan Mulyadie

Berbicara soal bulan suci Ramadhan, yang menarik, tak hanya ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat Tarawih, shalat Witir atau Tadarus Al Quran saja. Apalagi kalau hanya ngomong soal ngabuburit dan baju lebaran. Lebih dari itu semua adalah bahwa Ramadhan pun sesungguhnya mengajarkan pada kita tentang betapa tingginya nilai ibadah puasa sebagai bukti kepedulian sosial dari umat Islam atas saudara-saudaranya yang kurang beruntung.

Kompilasi

Sudah kita saksikan bersama pada beberapa waktu belakangan ini, bahwa krisis energi yang disebabkan oleh melambungnya harga minyak dunia rata-rata telah memporak-porandakan stabilitas berbagai negara. Tak hanya negara miskin dan berkembang saja yang merasakan dampaknya. Negara adidaya seperti Amerika Serikat pun tidak kurang terpukulnya. Dan itu ditandai dengan maraknya kredit macet pada banyak bidang terutama di sektor industri dan bisnis property.

Tentu saja merosotnya perekonomian dunia tidak hanya berdampak pada turunnya daya beli masyarakat. Namun juga turut mempengaruhi sektor-sektor lain seperti di kancah perpolitikan. Saking hebatnya dari gelaran peta politik tersebut, yang tak menarik, justeru krisis ini ternyata mampu pula direspon atau paling tidak ditafsirkan menjadi peluang langka serta bahan pergunjingan untuk saling serang dengan lawan politiknya. Sekaligus juga sebagai ajang promosi pribadi dan wahana beladiri. Akibatnya tentu saja kita yang cuma korban dan penonton setia jadi makin tidak merasa ngeh dibuatnya.

Puasa sebagai Solusi

Baiklah, mari sejenak kita rehat (bahkan kalau bisa; melupakan) akan segala hiruk pikuk persoalan duniawi yang disebut di atas tadi. Meskipun tentu saja itu sangat sulit. Apalagi kalau kita terus menerus mengamati perlonjakan harga kebutuhan sandang-pangan menjelang Lebaran.

Shaum atau Shaimun (puasa) yang secara bahasa berarti menahan, sesungguhnya merupakan suatu solusi yang tepat dalam rangka menata kembali pola pikir dan strategi dengan menyikapi beragam persoalan yang terjadi pada masalalu. Setidaknya dalam sebulan ini kita senantiasa dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu yang paling dasar yakni keinginan untuk makan dan minum. Sebab secara simbolis, lapar dan dahaga inilah yang akhirnya mampu menggoda bahkan membuta-tulikan akal serta nurani kemanusiaan dalam kondisi-kondisi tertentu.


Maka tak terlalu berlebihan jika pada bulan yang penuh berkah ini kita pergunakan sebaik-baiknya dengan meningkatkan kualitas pengabdian baik secara vertikal maupun horisontal. Ke arah vertikal tentu niat karena Alloh-lah kita beribadah. Dan ke arah horisontal, silaturahmi dan amal shaleh antar sesama manusia yang harus terus dibina.

Tidak semua orang di sekitar kita ini yang mampu makan setiap hari. Apalagi makanan enak, mahal dan bergizi. Sekali-kali cobalah tengok tetangga sebelah atau saudara-saudara kita yang kurang beruntung nasibnya dari segi ekonomi. Dan bandungkanlah dengan diri kita. Bagi kaum dhuafa, mungkin, ibadah puasa bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Pasalnya karena mereka telah terbiasa tidak makan pada hari-hari lainnya di bulan Ramadhan. Bukan karena mereka benar-benar berpuasa, melainkan karena sumber makanan (baca: Nafkah)nya memang tidak tersedia.

Namun yang paling ngeri adalah manakala ada dari sebagian orang dari kita malah tak tersentuh sama sekali dengan substansi dari ibadah puasa itu sendiri. Pada mulanya, Shaum Ramadhan itu dimaksudkan sebagai sarana peningkatan kepekaan sosial dengan turut pula merasakan penderitaan fakir miskin. Jadi kurang tepat rasanya jika saat berbuka puasa atau sahur menu makanan yang terhidang terkesan mewah dan terlalu mengada-ada. Terlebih jika ibadah buka puasa tersebut malah menjadi seperti ajang balas dendam atau pelampiasan atas perasaan haus dan lapar kita selama berpuasa hingga makan yang berlebihan dan (maaf) kamerkaan.

Adapun jika acara buka puasa bersama atau sahur itu disinyalir sebagai ajang kampanye politik oleh sebagian parpol dan calon-calon pemimpin negara seperti yang kini banyak diberitakan oleh mediamassa, bagi saya, tidaklah terlalu penting untuk dipergunjingkan. Salah-salah malah bisa mengurangi fhadilah puasa kita sendiri. Ya, sepanjang acara tersebut lebih mengutamakan inti nilai ibadahnya ketimbang menggalang dukungan politik yang sifatnya sementara. Keikhlasan tetap harus jadi patokan. Karena sayang sekali rasanya andai ibadah-ibadah yang kita perbuat itu hanya kandas dan sampai pada tataran horisontal saja. Sedangkan pahala di akhirat?

Terakhir, selamat menunaikan ibadah puasa. Mohon maaf lahir dan bathin.

Penulis adalah Ketua SOK STISIP Tasikmalaya.

Diterbitkan oleh:

SOKNEWS’2008

Tidak ada komentar: