Jumat, 12 Desember 2008

SOK STISIP TASIKMALAYA - Warnai Kreativitas Kampus


Oleh: Irvan Mulyadie

Menjadi kreatif tentu saja itu dambaan setiap orang. Dipercaya, hanya di tangan orang-orang kreatif dan berfikiran positiflah segala permasalahan yang ada di dunia dapat teratasi dengan baik. Setidaknya itulah yang melatar belakangi Komunitas Sarana Orang-orang Kreatif (SOK) Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Tasikmalaya terbentuk dengan kesadaran untuk mengembangkan diri dan kepribadian anggotanya.
Sekilas Tentang SOK STISIP
SOK STISIP lahir dari sebuah keinginan yang tulus dari segelintir mahasiswa baru kelas karyawan angkatan 2007/2008 yang menginginkan terjadinya interaksi sosial yang kreatif sekaligus bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya di lingkungan internal SITISIP Tasikmalaya. Misalkan dengan menumbuhkan perasaan memiliki atau paling tidak menjadi bagian yang lebih akrab dengan kampus sebagai tempat pernaungannya dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Tentu saja melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat mendidik sekaligus juga menghibur.
Mengingat anggota SOK STISIP yang didominasi oleh mahasiswa kelas karyawan dan notabene punya banyak keperluan/tugas lain di luar kampus, maka SOK STISIP pada awalnya sengaja untuk melonggarkan diri dengan tidak bergabung dalam satuan kerja BEM, BLM maupun organisasi lainnya yang ada di lingkungan STISIP Tasikmalaya. Alasannya sederhana, yakni supaya tidak menggangu tatanan yang ada dan sudah berjalan sebagaimana mestinya pada tubuh organisasi-organisasi tersebut. Meskipun pada kenyataannya SOK STISIP sendiri tidak bisa terlepas dan bergerak begitu saja tanpa dukungan dari pihak lain.
Di dalam berkegiatan, pertama kalinya SOK STISIP telah memfokuskan diri dalam wilayah kesenian seperti seni rupa, seni pertunjukan, musik, sastra, dll. Seni rupa yang dimaksud yakni pameran lukisan dan photogrhapy. Sementara seni pertunjukan yaitu pertunjukan teater dan film. Sedangkan sastra meliputi karya-karya yang berupa puisi, cerpen, novel, naskah drama/film, esei dan kritik sastra juga pendokumentasian naskah sastra.
Sebagai komunitas hobi, SOK STISIP punya itikad untuk turut serta dalam menumbuhkan gairah dalam proses belajar mengajar di STISIP dengan melakukan konsolidasi internal dalam organisasi. Intinya adalah bahwa SOK STISIP dibentuk sebagai upaya untuk mengikat semangat kebersamaan antar anggotanya dalam menimba ilmu di kampus STISIP. SOK STISIP juga akan senantiasa menjaga dan memelihara silaturahmi antar elemen, baik dari lingkungan internal maupun bagi external kampus. Bahkan diharapkan akan menjadi salah satu wadah (jembatan) atau semacam jaringan informasi yang saling menguntungkan antar anggotanya dengan berbagi peluang dan kesempatan untuk pengembangan diri sesuai minat dan bakatnya di masadepan.
Pelantikan Anggota Baru
Sabtu-Minggu, 22-23/11/2008 bertempat di lingkungan kampus STISIP Tasikmalaya, 8 orang anggota baru SOK STISIP Tasikmalaya dilantik. Meski berlangsung di bawah cuaca yang tidak bersahabat, namun dengan segala kreativitas yang ada acara pun berjalan lancar dan tanpa kendala yang berarti.
Dalam sambutannya pada acara pembukaan pelantikan tersebut, Drs. Damay Rusli, M.Pd selaku Puket III bidang Kemahasiswaan STISIP Tasikmalaya mengatakan, bahwa mahasiswa yang akan dilantik itu diharapkan mampu membawa nama baik kampus dalam berbagai kegiatannya dan terus berprestasi dengan gemilang. Bahkan SOK mesti bermanfaat bagi masyarakat yang lebih luas.
”SOK harus mampu mewarnai kreativitas kampus yang notabene selalu berkutat dengan urusan pelajaran dengan wacana sosial dan politik saja. Dengan sentuhan kesenian, setidaknya kesan kaku itu akan terminimalisir dan mendorong aktifitas positif mahasiswa supaya lebih baik lagi di masa mendatang....” Serunya.
Sedangkan bagi salah seorang penggagas dan pembina langsung SOK, Ihya Ulummudin, S.IP, SOK merupakan harapan baru di keorganisasian kampus.
”Dengan hadirnya organisasi ini (SOK-red), kreativitas mahasiswa jangan sebatas pelontar wacana saja. Melainkan kreatif dalam arti sebenarnya. Berkarya dan bermanfaat. Bahkan dapat dijadikan sarana yang tepat bagi setiap mahasiswa yang berkeinginan untuk mengembangkan minat dan bakatnya terutama di bidang seni dan kepemudaan”
Acara pelantikan tersebut berlangsung sejak sabtu sore hingga minggu pagi dengan berbagai materi pembuka kreativitas bagi pengembangan kepribadian. Diantaranya menyuguhkan kursus kilat manjemen diri-organisasi serta gambaran peluang untuk meningkatkan potensi dan bakat mahasiswa di tengah-tengah badai krisis multidimensi sekarang ini.


Penulis adalah ketua SOK, mahasiswa STISIP Tasikmalaya.

Selasa, 28 Oktober 2008

Merangsang Gairah Menulis


Oleh: Irvan Mulyadie

Menulis bukanlah hal yang sulit. Apalagi untuk ukuran mahasiswa. Bagaimanapun juga pelajaran menulis sudah diterima semenjak kita duduk di bangku SD, bahkan di Taman Kanak-kanak. Dengan demikian akan terdengar sangat janggal apabila ada seseorang (terutama mahasiswa) yang menyatakan bahwa ia tidak bisa menulis. Lain cerita kalau memang buta hurup.

Memang, dalam membuat karya tulis seseorang harus melalui berbagai tahapan proses terlebih dahulu. Diantara proses-proses itu ialah kesetiaan dirinya untuk terus menggali potensi diri, mendalami berbagai teknik pengembangan tulisan serta terus meningkatkan ilmu pengetahuan. Yang termasuk di dalamnya adalah mempelajari tips dan trik jitu dalam menulis.

Sekitar tahun 2003-an saya pernah berjumpa dengan seorang ‘teroris mental’ (begitu ia menyebut dirinya) yang terkenal sebagai penulis paling produktif di dunia seni dan budaya khususnya sastra. Beliau adalah budayawan, sastrawan, sutradara film dan sinetron, dan kolumnis berbagai media massa cetak. Sudah ribuan karya yang ia lahirkan melalui goresan tinta dari tangan juga printer komputernya. Seringkali mendapatkan penghargaan luar biasa atas dedikasinya dalam berkarya. Baik di dalam maupun luar negeri. Dialah Putu Wijaya, seniman tulen asal Bali yang akhirnya jadi selebriti.

Saat itu, dalam acara festival monolog tingkat nasional di Bandung. Ia membongkar rahasia pribadinya dalam berkarya. Sebuah rahasia yang unik, sederhana dan mungkin sangat mengejutkan. Ternyata disiplin tingkat tinggilah yang menjadi moto hidupnya.

Bisa dibayangkan, setiap pagi ketika baru bangun tidur, ia langsung melakukan push up 100 kali, site up 100 kali juga skot jump 100 kali. Setelah itu ia minum segelas besar air putih dan langsung nongkrong depan komputer. Dan beberapa saat kemudian, dan dalam kesempatan itu juga sebuah karya tulis akan ia hasilkan. Bentuk karyanya bisa apa saja. Bisa sebuah makalah seminar, puisi, cerpen, artikel koran, dan semacamnya.

Begitu juga dengan Arshwendo Atwiloto, pengarang yang menulis buku fenomenal Mengarang Itu Gampang saat diwawancara oleh suatu media massa menyatakan; intinya, menulis itu akan mudah jika sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sang penulis. Tidak melulu bicara soal pekerjaan, tapi sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar.

Disamping itu, kegiatan membuat karya tulis pun dapat menghasilkan rejeki. Sudah banyak contoh kongkret penulis kaya dengan royalti yang didapatkan atas penjualan buku-bukunya. Tengoklah Pramoedya Anantatoer. Meskipun ia tinggal bertahun-tahun di penjara, toh ia tak pudar semangat dalam berkarya. Ia dapat melahirkan berbagai novel fenomenal seperti Cerita dari Blora dan Keluarga Gerilya yang laris manis di pasaran. Sehingga pada akhir hayatnya ia dapat menikmati sisa hidup dari jerih payahnya itu dengan bukti berupa sebuah villa yang megah di pulau Jawa (di Tangerang kalau tidak salah).

Tidak hanya para penulis yang sudah mapan, ternyata seorang anak berusia 13 tahun kelahiran Banyuwangi yang bernama A Ataka Awwalurrizqi pada tahun 2005 mampu merillis 3 buah buku seri sekaligus dengan judul Misteri Pedang Skinheald. Buku seri pertamanya saja setebal dua ratusan halaman. Selain terkenal, kini Aka pun menjadi salah seorang anak yang jutawan.

Dan contoh yang paling dekat tentang penulis sukses yang banyak ketiban rejeki atas karya-karya tulisnya adalah Acep Zamzam Noor. Acep asli penduduk Tasikmalaya, tepatnya orang Cipasung. Tahun ini saja berkat buku kumpulan puisinya Menjadi Penyair Lagi, ia mendapatkan anugerah tabungan sebesar Rp.100.000.000,- melalui penghargaan Khatulistiwa Award. Sementara sebelumnya, mendapatkan penghargaan Internasional SEA Write Award di Bangkok lewat buku Jalan Menuju Rumahmu.


Gairah Menulis
Lalu bagaimana caranya menjadi seorang penulis seperti mereka?
Ada banyak jawaban untuk menjawab pertanyaan di atas. Salah satunya adalah dengan memunculkan gairah dalam diri untuk berkarya. Cara yang paling tepat untuk memunculkan gairah tadi yakni dengan merangsang gairah menulis itu sendiri.

Teknik merangsang gairah dalam menulis diantaranya adalah:
1.Menjadi Kutu Buku; yakni
dengan membaca banyak karya tulis dengan tema yang kita sukai dan kita benci. Sebab, dalam rasa suka dan benci ada rangsangan luar biasa pada proses pembelajaran dalam hal apapun. Di sisi lain kita bisa bersikap objektif dan pada sisi lainnya kita akan menentukan pilihan dengan subjektif. Searching juga ke dunia internet disarankan supaya kita dapat dapat referensi yang lebih banyak.

2.Menjadi Orang Gaul;
bergaul atau bergabung dengan orang yang sama-sama mempunyai minat dan bakat dalam menulis selama ini dianggap sebagai tips paling jitu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam berkarya. Disana ada pergesekan emosional dan proses pembelajaran non formal yang memungkin adanya semacam keadaan praktek kritisi bathiniyah dan perbandingan karya.

3.Menjadi Tukang jalan-jalan;
bagaimanapun, referensi yang banyak adalah bekal utama bagi seorang penulis. Bagaimana mungkin kita dapat menghasilkan sebuah karya yang benar-benar segar, baru dan berciri khas seandainya kita tidak pernah membaca atau setidaknya mengetahui orang yang lebih dahulu menjejakan kakinya di dunia kepenulisan. Kunjungilah berbagai pameran buku, perpustakaan-perpustakaan maka niscaya gairah menulis anda akan muncul dengan segera. Inginkah anda pada suatu saat nanti ada beberapa buku kita yang terpajang disana dan dibaca atau dilirik banyak orang?

4.Menjadi Pemimpi Tingkat Tinggi;
bayangkanlah jika suatu hari kita dapat merasakan menjadi seseorang yang sangat terkenal atas jerih payah kita dalam menulis. Kita diundang kemana-mana hanya untuk meluncurkan buku baru karya kita sendiri. Dengan pembicara pengarang atau kritisi yang berkompeten pula. Diburu penggemar yang memaksa minta tandatangan dan poto bersama. Tidakkah kita berharap dengan apa yang kita tulis itu orang-orang bisa menangkap gagasan kita, kemudian melakukan atau setidaknya merenungkan tentang pesan yang kita sampaikan melalui buku tersebut? Kemudian pasanglah target, hendak dari mana kita akan memulainya?

5.Menjadi Pemberontak;
jangan dulu terpaku pada teori jika hendak memulai karya tulis. Toh, teori tidak akan banyak bermanfaat seandainya hanya akan membuat kita mandek atau malu-malu saja dalam berkarya. Tuliskan saja apa yang ada di dalam kepala. Cari objek tulisan dari arah yang sama sekali belum pernah dipikirkan orang.
Olah gaya tutur dalam penulisan sehingga kita sendiri benar-benar yakin akan kejelasan maksud dan tujuan kita menulis. Boleh liar asal tetap terkendali. Boleh merangkul berbagai tema asal tercakup substansinya dari apa yang kita sampaikan. Nah, baru setelah itu kita kaji kembali dan merancang bangun tulisan kita agar dapat diterima khalayak luas.

6.Menjadi Pencuri Kesempatan;
jadilah tukang mencuri kesempatan sejati. Gunakan seluruh daya intelegensi guna melacak sasaran tepat, deteksi setiap kemungkinan dan celah guna menyerang imajinasi supaya dapat kita ambil. Manfaatkan seluruh media yang ada guna melatih daya kreativitas kita dalam menulis. Bisa dengan mengisi buku harian atau blog pribadi, mengisi mading (majalah dinding) yang biasanya kebanyakan diisi oleh iklan komersial, atau menggempur media massa dengan cara mengirimkan banyak karya yang kita tulis tanpa putus asa.

Jangan berharap dengan satu atau dua kali saja kita berkarya orang-orang di dunia dapat menerima gagasan kita. Butuh kesetiaan dan ketelatenan kita dalam membentuk citra dan opini publik.

7.Menjadi Murid Kehidupan;
jangan pernah merasa puas akan apa yang telah kita capai dalam berkarya. Tanamkanlah dalam diri suatu semangat seperti ombak yang tak henti-hentinya bergejolak walau tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Carilah peluang dimana kita harus lebih meningkatkan kualitas kekaryaan. Banyak bertanya kepada orang yang tepat. Banyak bertanya pada diri sendiri. Serta banyak memberikan jawaban pada teka-teki kehidupan. Dan ikhlas dalam memperjuangkan cita-cita.

Untuk belajar menjadi penulis yang baik adalah dengan terus menerus membuat tulisan. Tuliskan apa saja yang pernah terlintas di kepala. Setiap ide yang muncul harus segera ditangkap. Tak jadi soal tulisan itu tidak selesai dalam satu kali hentakan. Tapi setidaknya akan menjadi tabungan berlimpah manakala suatu saat kita mentok dan menemukannya kembali dalam kertas yang berceceran sebagai harta karun yang paling berharga.

Terakhir, saat anda bergairah kembali dalam menulis setelah membaca paparan ini, janganlah anda menyalahkan saya kalau suatu saat nanti anda menjadi salah seorang penulis yang profesional. Dan tanggung sendiri akibatnya! Salam……


Tulisan ini disampaikan dalam acara diskusi:
MEMUNCULKAN GAIRAH MAHASISWA DALAM BIDANG KARYA TULIS
Pembicara: Erlan Suwarlan, S.IP dan Irvan Mulyadie
diselenggarakan oleh: Lingkar Studi Pemerintahan (LSP)
Rabu, 22 Oktober 2008 Jam:12.30-14.00 WIB di Kampus STISIP Tasikmalaya
Bentuk asli tulisan ini berformat Slide Show Presentasion.

Bio Data Penulis :
Irvan Mulyadie, lahir di Tasikmalaya 18 Maret 1981. Aktif dalam berbagai kelompok kesenian di Priangan Timur. Yakni di Teater Dongkrak, Sanggar Sastra Tasik, Kelompok Performance Art KelelaWAR, Keluarga Seni Rupa Tasik, Kelompok Penulis dan Pembaca SK. Priangan, Sanggar Seni Barak, pernah menjadi Badan Pengurus Gedung Kesenian Tasik, Komunitas Matabambu, Direktur Forum Diskusi Kreatif Film Tasik, Eks. wartawan Tabloid Pendidikan Ganesha, Ketua SOK STISIP Tasikmalaya dan kolumnis di beberapa media cetak.

Menulis puisi, cerpen, novel, naskah drama, esai, reportase, makalah seminar seni dan budaya, dan skenario film. Karya-karyanya telah banyak dipublikasikan di banyak media massa baik lokal maupun nasional serta cyber media di internet. Dan karya-karyanya termuat dalam berbagai buku antara lain : Orasi Kue Serabi (GKT, 2001) Poligami (SST, 2003) 6 Penyair Menembus Udara (Universitas Siliwangi, 2003) Sahabat Sunyi (BN, 2004) Lidah Petir (BN, 2004) Langari (B’zar Publishing, 2005), Antologi Puisi Penyair Jabar-Bali (bukupop Jakarta, 2005), Kumpulan Puisi Cinta “Tembang Kembara” (Gaza Publishing Bandung, 2008), Kumpulan cerpen dan puisi Tahun Kabisat (SOK STISIP, 2008) dan anthologi puisi digital Kabar Waktu (Boxidea Publisher, 2008). Dari buku Sahabat Sunyi kemudian lahir film independent dengan judul yang sama dan mendapatkan sambutan yang baik dari berbagai kalangan termasuk pers di Jawa Barat.

Kini ia tercatat sebagai karyawan pada Dinas Permukiman Tata Ruang dan Lingkungan Hidup di Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Karya-karya tulisnya yang lain bisa dijumpai di http://irvanmulyadie.blogspot.com.

Negara Syariah Indonesia (?)


Oleh: Erlan Suwarlan, S.IP

Berawal Krisis Moneter Dunia yang meruntuhkan perkekonomian negara-negara yang lemah, dimana salah satunya adalah Negara Indonesia.

Bank-bank di Tanah Air yang merupakan perwujudan sebuah negara yang sudah modern pun berguguran me-ngalami kebangrutan. Nyaris saja Negara Kita hancur berantakan !
Namun tiba-tiba datang angin segar (angin sorga), perekonomian Negara Kita mulai me-rangkak bangkit setelah bank-bank yang ada menduplikasi diri mendirikan “BANK-BANK SYARIAH”. Dalam tempo yang relatif cepat bank-bank kembali sehat walafiat.

Label SYARIAH nyata-nyata cukup ampuh menjaring nasabah di Negara yang memang mayoritas beragama Islam. Laksana jamur di musim hujan, label bernilai rasa agamis ini pun digunakan oleh pranata-pranata sosial lain yang didirikan, dan laku keras.
Ada yang membuat MLM Syariah, Koperasi Syariah, Warnet Syariah, Kredit Motor Syariah, bahkan saat ini sudah berdiri Sekolah Bisnis Syariah di Tanah Air.
Serba Syariah telah melanda bumi Indonesia. Terlebih ketika Bumi Rencong Aceh mendapatkan hak istimewa sebagai daerah yang memiliki 1/2 kemerdekaan kemudian membuat Perda Syariahnya, beberapa daerah di Tanah Air pun ketularan untuk juga membuat Perda Syariah.

Baru-baru ini kabarnya di Tasikmalaya sempat ada gerakan massa yang mendorong paksa Pemerintah Daerah untuk membuat Perda Syariah seperti di daerah Aceh. Jika kabar ini benar adanya, boleh jadi dalam waktu singkat akan ada Pemimpin Syariah, Politisi Syariah, boleh jadi juga akan muncul Partai Politik Syariah Indonesia Raya.

Nah, bagaimana nanti jadinya bentuk dan sistem pemerintahan Negara Kita?

Kenyataan dan fenomena serba Syariah ini baik sekali untuk dikaji oleh para mahasiswa STISIP Tasikmalaya, sebelum Negara Kita menjadi “NEGARA SYARIAH INDONESIA”.

Penulis adalah dosen STISIP Tasikmalaya, sehari-hari mengajar bidang Ilmu Pemerintahan.

Mahasiswa Menjadi Saksi


Oleh: Ihya Ulumuddin, S.IP

Bahwa diyakini kebenarannya, profesi dan status tertentu pada seseorang melekat juga pada dirinya tanggung jawab yang sangat besar, yaitu sebuah tanggung jawab sebagai saksi hidup dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi.
Salah satunya status sebagai MAHASISWA.

Berbeloknya arah perjalanan sejarah umat manusia di atas dunia ini sejak dahulu kala, tidak terle-pas dari kesaksian para mahasiswa, yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk nyata.

Di zaman Yunani Kuno, para mahasiswa merombak alam pikiran penduduknya yang pagan (pe-nyembah berhala-berhala) lewat kesaksian mereka yang dituangkan dalam karya-karya tulisan filsafat-filsafat mengenai banyak persoalan hidup. Kemudi-an Dunia Arab bersinar dengan tumbuh dan ber-kembangnya pemikiran-pemikiran para mahasiswa-nya yang belajar dari masjid ke masjid pada mula-nya, kemudian berdirinya universitas-universitas yang megah.

Selanjutnya di belahan Dunia Barat, sumbangsih terbesar kemajuan Barat hingga dewasa ini bermula dari dalam kampus-kampus yang dikelola oleh para agamawan. Karenanya para mahasiswa jebolan universitas-universitas yang dikelola para agamawan memiliki kredibilitas yang tinggi, akibat para mahasiswanya banyak melahirkan karya-karya serta pe-mikiran yang luar biasa sebagai kesaksian mereka pada kehidupan.

Demikian juga dengan Indonesia, sejak tahun 1920 sampai 1930, dinyatakan sebagai masa perubahan bandul sejarah Bangsa. Dalam masa itu mulai berdirinya sekolah-sekolah tinggi yang menggembleng para mahasiswa Indonesia. Dari mereka kemudian momentum-momentum kesaksian digelar, dimana yang paling spektakuler adalah “Soempah Pemoeda”, yang notabene adalah bentuk kesaksian para mahasiswa Indonesia untuk mengukuhkan jati diri sebagai bangsa yang merdeka.

Kemudian tumbangnya rezim-rezim yang pernah berkuasa di Tanah Air, tidak lain akibat kesaksian para mahasiswa juga.

Menjadi saksi tidak cukup hanya melihat dan ikut merasakan, tetapi harus menjunjung tinggi kejujur-an dan kebenaran. Kesaksian akan lebih berharga jika diwujudkan dalam karya-karya nyata…


Penulis adalah dosen STISIP Tasikmalaya, sehari-hari mengajar bidang Sistem Budaya Indonesia

Senin, 29 September 2008


PENDIDIKAN YANG TIDAK MENDIDIK
Sisi Lain Realitas Dunia Pendidikan Indonesia


Oleh : Saeful Hadi, S.Sos.


Membicarakan masalah dunia pendidikan di Indonesia sepertinya selalu menarik untuk diperdebatkan. Ibaratnya menegakkan benang basah, sukar sekali untuk mencari format terbaik dalam mengelola pendidikan di tanah air. Berganti-gantinya peraturan bukannya semakin mengerucutkan permasalahan yang akan memudahkan dicari solusi pemecahannya namun malah semakin rumit dan apalagi jika dikaitkan dengan isu-isu politik atau dipolitisir. Sementara itu di lapangan tawuran pelajar masih marak terjadi, narkoba semakin merajalela, premanisme dan tingkat kriminalitas pelajar meningkat, bahkan hal-hal yang tidak sepatutnya mereka lakukan seperti seks bebas dan aborsi mengalami kecenderungan meningkat. Kemudian pada suatu waktu penulis sendiri pernah melihat dua orang pelajar putri setingkat SLTP di sekitar alun-alun Tasik sedang berkelahi yang kata teman-temannya penyebabnya masalah pacaran atau baru-baru lalu ada berita sepasang siswa SLTP yang katanya dipecat dari sekolahnya karena ketika acara perkemahan mereka kedapatan melakukan perbuatan “mesum” yang sudah kelewat batas. Masya Allah.
Tanpa mengabaikan berbagai prestasi yang diraih para pelajar kita seperti misalnya keberhasilan tim Fisika Indonesia meraih juara umum Olympiade Fisika Asia Ke-4 di Bangkok, Thailand tanggal 20-29 April 2003 lalu, sebetulnya permasalahan seperti apakah yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia ketika produknya justru banyak memunculkan orang-orang yang bermental korup, berjiwa preman, dan semacamnya yang pada akhirnya turut menyumbang sulitnya Indonesia melepaskan diri dari krisis yang dialami seperti yang terjadi saat ini ?
Ketika para pakar pendidikan berbicara masalah penyebab terjadinya berbagai tawuran antar pelajar dan kenakalan remaja yang semakin meningkat, seringkali jawabannya adalah kurangnya pendidikan moral di sekolah serta ditambah pengaruh media komunikasi dan hiburan yang semakin sering menayangkan adegan kekerasan. Terlalu menonjolkan aspek ilmu pengetahuan yang diduga sangat kuat menunjang tingkat kecerdasan dan keterampilan anak didik masih menjadi paradigma utama dalam dunia pendidikan. Sementara nilai-nilai transenden serta religius masih belum cukup untuk membentuk kepribadian anak didik yang mulia. Pendapat tersebut merupakan alasan yang paling sering dikemukakan oleh para pakar, namun dari sudut pandang penulis ada dua hal lagi yang masih luput dari perhatian menyikapi penyebab krisis produk dunia pendidikan di Indonesia.

Mental dan Moral Pendidik Yang Tidak Baik
Pengajar atau pendidik atau dalam bahasa sehari-hari lebih akrab dengan sebutan “guru” merupakan salah satu dari tiga elemen pendidikan disamping pelajar atau anak didik dan realitas dunia yang menjadi bahasan dunia pendidikan, yang ketiganya menurut Paulo Freire berhubungan secara dialektis1. Dalam hal ini fungsi pendidik lebih ditekankan sebagai subyek aktif yang dianggap sudah “tahu banyak” tentang materi-materi pelajaran yang akan disampaikan kepada anak didik. Posisi anak didik sendiri hanya sebagai sebuah obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan pada ujung-ujungnya berdasarkan konsep Freire tersebut menjadi bersifat negatif dimana pendidik yang memberi informasi yang harus ditelan oleh anak didik, wajib diingat dan dihapalkan2. Kenyataan ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa anak didik akan selalu mengidentifikasi diri seperti gurunya sebagai sosok manusia ideal yang harus digugu dan ditiru serta harus diteladani dalam segala hal.
Lantas yang menjadi persoalan adalah bukan pada materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik pada anak didiknya, misalnya pendidikan etika, moral dan religi lewat PPKN, Pendidikan Agama atau Penataran P-4 yang sudah dihapus, akan tetapi permasalahannya adalah ada beberapa pendidik yang moral dan mentalnya yang tidak terpuji. Hal ini sering tanpa disadari, walaupun tidak menutup kemungkinan banyak juga yang disengaja karena tuntutan ekonomi. Contoh nyata misalnya melarang anak didik untuk tidak merokok di sekolah, namun pendidik sendiri malah melakukannya bahkan parahnya ada yang di depan kelas ketika sedang mengajar. Sikap yang mau tidak mau disebut munafik ini pada gilirannya akan ditanggapi oleh sebagian anak didik sebagai sebuah contoh yang harus ditiru di kemudian hari dan lain kesempatan. Apakah sikap tersebut memang layak untuk diteladani.
Kemudian menyimak pendapat Everet Hagen3 bahwa seringkali pendidik menghadapi anak didiknya dengan kaku dan bahkan arogan. Banyak kasus pendidik tidak mengizinkan muridnya banyak bertanya. Tidak jarang pendidik tidak toleran terhadap perbedaaan dan merasa terganggu oleh pikiran-pikiran kritis dari anak didiknya sehingga dengan mudahnya pendidik memarahi bahkan memukul anak didiknya yang kritis tersebut. Sikap pendidik seperti itu dari aspek psikologis berdampak pada pembentukan kepribadian anak didik di kemudian hari yang tanpa disadari akan meniru perilaku pendidiknya yang otoriter dan arogan. Fenomena ini tampaknya di Indonesia banyak ditemui dan berlangsung terus menerus sehingga akhirnya menjadi mengkonstruksi secara sosial dalam dunia pendidikan kita.
Hal lain yang bisa menjadi berbahaya bagi anak didik adalah mencontohkan sikap tidak mandiri dan pemalas pada anak didik lewat pengadaan les atau tambahan jam belajar di luar jam sekolah. Mengapa demikian ? Sebab pada kenyataannya banyak pendidik yang justru mengadakan les dengan memberikan soal-soal latihan ujian yang hampir sama atau bahkan ada yang persis seratus persen dengan soal-soal ujian resmi di sekolah. Kenyataan ini berakibat anak didik hanya akan terfokus pada soal-soal les saja tanpa mau mempelajari yang lainnya dan juga menimbulkan kecemburuan anak didik lainnya yang tidak ikut les. Dampak lebih jauh dari kasus tersebut adalah terjadi pada saat EBTANAS dan UMPTN ( sekarang UAN dan SPMB ) dimana anak didik yang sebelumnya ketika ujian dimanjakan dengan soal-soal yang biasa disampaikan pada les menjadi kelabakan karena soal-soalnya menjadi asing. Bagi anak didik yang pintar dan rajin, ia tidak akan merasa kesulitan, namun bagi yang hanya mengandalkan soal latihan dari les, ia akan menemui kesulitan dan akibatnya perbuatan seperti nyontek akan ia lakukan.
Ada tiga hal yang bisa diambil pelajaran dari kasus di atas. Pertama, melestarikan sikap manut atasan atau ABS (asal bapak senang) yang taken for granted ( kaku dan menerima apa adanya dengan mengabaikan benar atau salah). Sikap tersebut pada dampak selanjutnya berakibat hanya menempatkan suatu permasalahan dari sudut pandangnya sendiri dan sulit menerima pendapat orang lain; Kedua, menciptakan manusia yang berjiwa otoriter dan tidak kreatif. Identifikasi diri anak didik terhadap pendidik yang tidak terpuji berakibat pada perilaku anak didik tersebut di kemudian hari sebagai bagian dari ranah sejarah hidup mereka. Hal ini akan semakin parah jika lingkungan mendukung dan pendidikan agama anak didik tersebut sangat kurang; Dan ketiga, Ini masalah klasik yaitu kesejahteraan guru. Semua orang pun sudah tahu bahwa dengan tugas yang demikian mulia dan berat sebagai yang digugu dan ditiru sangatlah tidak memadai imbalan dan penghargaan yang diterima oleh tenaga pendidik. Ini terutama bagi tenaga guru honorer atau kontrak yang upahnya sangatlah minim sedangkan kebutuhan hidup mereka semakin tidak terkejar, sehingga kalau mereka mencari tambahan lain yang akan mengurangi integritas mereka dalam dunia pendidikan adalah suatu keniscayaan.




Ketidaktahuan Orang Tua dan Tekanan Prestasi Pada Anak
Masih belum hilang dari ingatan kita beberapa tahun lalu mengenai kasus pembunuhan sadis kelaurga dokter di Medan yang ternyata pembunuhnya adalah anak bungsu keluarga tersebut yang masih berstatus pelajar SMU. Seolah-olah di luar akal sehat kita bagaimana mungkin seorang anak kandung membunuh kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya dengan begitu kejam. Tetapi itulah yang terjadi.
Berawal dari kasus tersebut, pembahasan sub tema ini dimulai. Inilah salah satu dampak dari kesalahan interpretasi masyarakat terhadap proses pendidikan yang tanpa disadari terjadi. Budaya feodal yang berpikiran caklek yang hanya memandang sesuatu hal dari sudut pandangnya sendiri benar-benar terjadi juga dalam lingkungan keluarga. Jangankan dalam konteks negara, konteks keluarga pun iklim demokrasi masih sulit untuk ditegakkan dan akhirnya yang terjadi adalah munculnya berbagai perilaku brutal yang dilakukan khususnya oleh anak remaja ketika mengalami tekanan mental dan beban psikologis yang berat.
Satu hal yang perlu diingat bahwa setiap personal atau individu manusia memiliki heterogenitas dan kemajemukkan dalam berbagai hal termasuk masalah kemampuan berpikir dan kecerdasan seorang anak. Namun masalahnya adalah sejauh mana orang tua mengetahui batas-batas kemampuan anak dan bakat yang dimilikinya. Inilah yang sering diabaikan oleh para orang tua menyikapi tuntutan prestasi tinggi pada anaknya. Kejadian pembunuhan sadis di Medan cukup jelas menunjukkan bahwa orang tua terlalu memaksakan kehendak pada anaknya untuk mengikuti jejak prestasi keluarganya atau malah harus melebihinya. Orang tua seringkali tidak menyadari bahwa belum tentu seorang anak memiliki kemampuan dan bakat serta minat yang sama dengan mereka, sehingga yang terjadi adalah “memaksa” anak untuk selalu berprestasi sedemikian rupa seperti keinginan mereka tanpa melihat dan menyadari batas-batas kemampuan seorang anak.
Lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah turut memperparah situasi. Ini terjadi seperti kasus les dalam sub tema pertama di atas. Karena orang tua menginginkan atau menuntut prestasi bagus pada anaknya, padahal si anak tidak diketahui batas kemampuannya, sehingga si anak akhirnya melakukan segala cara untuk mencapai prestasi yang dituntut orang tuanya itu. Orang tua hampir tidak pernah mengetahui bagaimana sebetulnya kondisi proses belajar mengajar di sekolah itu, apakah berlangsung demokratis dan jujur atau tidak, kecuali orang tuanya yang berprofesi sebagai tenaga pendidik dan ini pun tetap tidak berpengaruh banyak karena seringkali para pendidik yang mempunyai anak dengan sekolah yang sama dengan ia bekerja memberikan semacam kemudahan pada anaknya termasuk memberi tahu kisi-kisi soal ulangan atau ujian.
Seorang anak dalam kondisi psikologis yang berat dengan tekanan prestasi yang tinggi dan harus selalu dituntut maksimal ditambah kondisi kelas yang dalam kompetisi mencapai prestasi tinggi, sedangkan kemampuannya terbatas, akan cenderung berusaha dengan segala cara untuk mencapai prestasi tersebut. Pada akhirnya si anak akan cenderung melakukan tindakan tercela seperti menyontek, mengopek lewat kertas-kertas kecil, jual beli soal-soal kisi-kisi ulangan, dan mengikuti les dengan tujuan untuk memperoleh soal yang hampir seratus persen sama dengan soal ujian yang sebenarnya di sekolah. Bahkan ada kasus seperti pengalaman penulis, ada teman penulis yang dengan beraninya “mencuri” soal dari rumah seorang pendidik waktu ia pura-pura les dengan tujuan memperoleh nilai bagus karena pendidik tersebut sangat ketat memberikan soal ulangan. Untungnya perbuatan itu akhirnya ketahuan sehingga ulangannya batal dan soalnya diganti dengan yang lain.
Kasus di atas entah disadari atau tidak oleh para pendidik seolah-olah sudah menjadi kebiasaan dan dianggap wajar-wajar saja. Yang jelas orang tua banyak yang tidak tahu terhadap situasi dan kondisi proses belajar mengajar di sekolah, karena yang dituntut hanya prestasi melulu, sehingga sikap otoriter orang tua terhadap anaknya seringkali terjadi tanpa mereka sadari. Beban psikologis anak dengan kondisi itu akhirnya banyak menimbulkan sikap tidak terpuji dari anak didik seperti yang disebutkan di atas. Pada akhirnya pendidikan moral yang ditanamkan pada anak didik menjadi tidak efektif untuk mengatasi perilaku tersebut karena sikap pendidik, sikap orang tua dan institusi sendiri seolah-olah permissif terhadap kondisi yang terjadi.
Kondisi pendidikan yang tidak mendidik tersebut pada konteks makro akhirnya akan banyak memberikan kontribusi terhadap munculnya para pejabat, elit-elit pemimpin yang bermental otoriter, berjiwa korup, berperilaku seperti preman yang berbuat selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaannya. Tanpa bermaksud untuk menjelekkan dan mendeskriditkan para pendidik secara keseluruhan yang telah begitu banyak jasanya terhadap proses pencerdasan kehidupan bangsa dan pembangunan kualitas sumber daya manusia, tampaknya hal-hal yang telah disebutkan di atas masih jauh dan sering luput dari perhatian kita.

Solusi Mengatasi Permasalahan
Permasalahan yang diuraikan di atas, jika tidak secepatnya ditangani akan menciptakan situasi yang semakin memperburuk mental anak bangsa. Fenomena di atas sudah mengarah pada semacam konstruksi sosial dalam proses kompetisi untuk memperoleh atau mempertahankan status sosial tertentu dalam sebuah masyarakat. Situasi tersebut sangatlah tidak kita inginkan ketika keadaan bangsa ini yang masih sulit lepas dari krisis multidimensi. Adapun solusi-solusi yang sekiranya bisa menjadi masukan mengatasi permasalahan pendidikan seperti yang diuraikan di atas adalah sebagai berikut :
1. Tidak akan berhasil suatu pendidikan moral dan mental terhadap anak didik jika pendidik sendiri tidak bermoral dan bermental terpuji. Oleh karena itu moral dan mental terpuji tersebut harus ditanamkan atau dimulai terlebih dahulu dalam sikap dan perilaku pendidik karena sebagai yang digugu dan ditiru, baik langsung maupun tidak langsung anak didik akan meniru pendidiknya sebagai teladan bagi mereka. Jangan sampai urusan pribadi di rumah misalnya dibawa-bawa ke sekolah sehingga anak didik menjadi korban.
2. Orang tua hendaknya sejak dini mengetahui dan menelusuri sampai sejauh mana batas-batas kemampuan anaknya dan bakat yang dimilikinya, sehingga tidak begitu saja memaksakan kehendak demi prestise atau status yang dibebankan terlalu berat kepada anak untuk berprestasi sesuai yang diinginkan. Dengan tetap mengawasi perilaku dan tindak tanduk anak, orang tua dibiasakan bersikap demokratis terhadap pilihan-pilihan hidup anak supaya sang anak tidak memiliki beban psikologis yang sangat berat, yang nantinya bisa menimbulkan sikap dan perilaku yang tidak terpuji seperti yang diuraikan di awal-awal tulisan ini.
3. Pihak institusi pendidikan, para pendidik dan pihak orang tua sebaiknya saling bekerja sama secara intensif serta selalu saling bertukar informasi tentang perkembangan proses pendidikan anak untuk menciptakan iklim proses belajar mengajar yang sehat sesuai dengan batas-batas kemampuan anak yang sebenarnya. Adanya Dewan Sekolah diharapkan menjadi mediator yang efektif dalam terjalinnya kerja sama tersebut.
4. Pada proses belajar mengajar hendaknya ditanamkan nilai-nilai demokrasi secara sehat. Dikotomi pendidik dan anak didik sebagai subyek-obyek harus segera ditinggalkan dengan menciptakan iklim proses belajar mengajar yang bersifat kemitraan yaitu subyek-subyek antara pendidik dengan anak didik, tanpa mengabaikan etika sopan santun antara “orang tua” dari pihak pendidik dengan “anak” dalam arti anak didik.
5. Pemerintah dituntut untuk lebih perduli lagi dengan kesejahteraan tenaga pendidik khususnya bagi tenaga honorer atau kontrak. Pemerintah harus mampu bersikap adil antara tuntutan profesionalisme dan transparansi kepada pendidik dengan konsekuensi penghargaan terhadap mereka yang lebih layak. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari praktek-praktek yang sebenarnya tidak mendidik dan pembodohan seperti program les dengan berbagai macam alasannya yang sebetulnya kebanyakan semata-mata untuk menambah penghasilan pendidik yang pada akhirnya mengabaikan substansi pendidikan itu sendiri dan tidak mengefektifkan peran sekolah untuk proses belajar mengajar yang sebenarnya.

Demikian uraian sisi lain dunia pendidikan Indonesia yang masih luput dari perhatian kita semua. Tujuan penulisan ini tidak lain adalah untuk menggugah kesadaran kita bahwa ada sisi lain yang diabaikan dan luput dari perhatian mengenai realitas dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan Indonesia sepertinya masih jauh dari nilai-nilai demokrasi yang selama ini menjadi jargon dan doktrin politik para elit dan penguasa di Indonesia. Pendidikan hanyalah sebagai alat politik bukannya sebagai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berakhlak mulia.
Paradigma pengelolaan dunia pendidikan harus secepatnya dirubah dengan tidak menempatkan sekolah sebagai “pabrik” atau “bank” guna memenuhi pasar kapitalis semata, tetapi sekolah dan dunia pendidikan adalah sarana pembentukan kepribadian dan sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas, berketerampilan tinggi dengan menguasai iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga bermental dan bermoral terpuji sehingga sejak dini kita bisa mengikis habis penyakit korupsi dan kolusi yang pada gilirannya dapat menciptakan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia.****


Tasikmalaya, 5 Mei 2003

SUMBER REFERENSI
Freire, Paulo. 1999, Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Cetakan pertama, Kerjasama Pustaka Pelajar dan READ, Yogyakarta.

Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi ?, Cetakan pertama, Remaja Rosda Karya, Bandung.

Minggu, 14 September 2008

Puasa Dan Kepekaan Sosial

Oleh: Irvan Mulyadie

Berbicara soal bulan suci Ramadhan, yang menarik, tak hanya ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat Tarawih, shalat Witir atau Tadarus Al Quran saja. Apalagi kalau hanya ngomong soal ngabuburit dan baju lebaran. Lebih dari itu semua adalah bahwa Ramadhan pun sesungguhnya mengajarkan pada kita tentang betapa tingginya nilai ibadah puasa sebagai bukti kepedulian sosial dari umat Islam atas saudara-saudaranya yang kurang beruntung.

Kompilasi

Sudah kita saksikan bersama pada beberapa waktu belakangan ini, bahwa krisis energi yang disebabkan oleh melambungnya harga minyak dunia rata-rata telah memporak-porandakan stabilitas berbagai negara. Tak hanya negara miskin dan berkembang saja yang merasakan dampaknya. Negara adidaya seperti Amerika Serikat pun tidak kurang terpukulnya. Dan itu ditandai dengan maraknya kredit macet pada banyak bidang terutama di sektor industri dan bisnis property.

Tentu saja merosotnya perekonomian dunia tidak hanya berdampak pada turunnya daya beli masyarakat. Namun juga turut mempengaruhi sektor-sektor lain seperti di kancah perpolitikan. Saking hebatnya dari gelaran peta politik tersebut, yang tak menarik, justeru krisis ini ternyata mampu pula direspon atau paling tidak ditafsirkan menjadi peluang langka serta bahan pergunjingan untuk saling serang dengan lawan politiknya. Sekaligus juga sebagai ajang promosi pribadi dan wahana beladiri. Akibatnya tentu saja kita yang cuma korban dan penonton setia jadi makin tidak merasa ngeh dibuatnya.

Puasa sebagai Solusi

Baiklah, mari sejenak kita rehat (bahkan kalau bisa; melupakan) akan segala hiruk pikuk persoalan duniawi yang disebut di atas tadi. Meskipun tentu saja itu sangat sulit. Apalagi kalau kita terus menerus mengamati perlonjakan harga kebutuhan sandang-pangan menjelang Lebaran.

Shaum atau Shaimun (puasa) yang secara bahasa berarti menahan, sesungguhnya merupakan suatu solusi yang tepat dalam rangka menata kembali pola pikir dan strategi dengan menyikapi beragam persoalan yang terjadi pada masalalu. Setidaknya dalam sebulan ini kita senantiasa dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu yang paling dasar yakni keinginan untuk makan dan minum. Sebab secara simbolis, lapar dan dahaga inilah yang akhirnya mampu menggoda bahkan membuta-tulikan akal serta nurani kemanusiaan dalam kondisi-kondisi tertentu.


Maka tak terlalu berlebihan jika pada bulan yang penuh berkah ini kita pergunakan sebaik-baiknya dengan meningkatkan kualitas pengabdian baik secara vertikal maupun horisontal. Ke arah vertikal tentu niat karena Alloh-lah kita beribadah. Dan ke arah horisontal, silaturahmi dan amal shaleh antar sesama manusia yang harus terus dibina.

Tidak semua orang di sekitar kita ini yang mampu makan setiap hari. Apalagi makanan enak, mahal dan bergizi. Sekali-kali cobalah tengok tetangga sebelah atau saudara-saudara kita yang kurang beruntung nasibnya dari segi ekonomi. Dan bandungkanlah dengan diri kita. Bagi kaum dhuafa, mungkin, ibadah puasa bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Pasalnya karena mereka telah terbiasa tidak makan pada hari-hari lainnya di bulan Ramadhan. Bukan karena mereka benar-benar berpuasa, melainkan karena sumber makanan (baca: Nafkah)nya memang tidak tersedia.

Namun yang paling ngeri adalah manakala ada dari sebagian orang dari kita malah tak tersentuh sama sekali dengan substansi dari ibadah puasa itu sendiri. Pada mulanya, Shaum Ramadhan itu dimaksudkan sebagai sarana peningkatan kepekaan sosial dengan turut pula merasakan penderitaan fakir miskin. Jadi kurang tepat rasanya jika saat berbuka puasa atau sahur menu makanan yang terhidang terkesan mewah dan terlalu mengada-ada. Terlebih jika ibadah buka puasa tersebut malah menjadi seperti ajang balas dendam atau pelampiasan atas perasaan haus dan lapar kita selama berpuasa hingga makan yang berlebihan dan (maaf) kamerkaan.

Adapun jika acara buka puasa bersama atau sahur itu disinyalir sebagai ajang kampanye politik oleh sebagian parpol dan calon-calon pemimpin negara seperti yang kini banyak diberitakan oleh mediamassa, bagi saya, tidaklah terlalu penting untuk dipergunjingkan. Salah-salah malah bisa mengurangi fhadilah puasa kita sendiri. Ya, sepanjang acara tersebut lebih mengutamakan inti nilai ibadahnya ketimbang menggalang dukungan politik yang sifatnya sementara. Keikhlasan tetap harus jadi patokan. Karena sayang sekali rasanya andai ibadah-ibadah yang kita perbuat itu hanya kandas dan sampai pada tataran horisontal saja. Sedangkan pahala di akhirat?

Terakhir, selamat menunaikan ibadah puasa. Mohon maaf lahir dan bathin.

Penulis adalah Ketua SOK STISIP Tasikmalaya.

Diterbitkan oleh:

SOKNEWS’2008