Senin, 18 Mei 2009

Saat Angin Puting Beliung Menyapa Cikalong

S e b u a h C a t a t a n P e r j a l a n a n
Oleh : Irvan Mulyadie



Cikalong, 15 Mei 2009 sekira jam 14.00 WIB, merupakan sebuah kenangan yang tak mudah untuk kulupakan. Karena bagaimana pun, pada hari itulah Tuhan telah memberikan sebuah peringatan. Tidak hanya bagiku, tapi bagi semua orang yang merasakan, menyaksikan, atau setidaknya melihat, membaca atau mendengarkannya di media massa.

Sesuatu telah terjadi di siang hari penuh tragedi. Beberapa saat setelah orang-orang muslim menunaikan ibadah shalat Jumat. Jumat yang rapuh. Dan hari Jumat yang menggoreskan sebuah keluh. Di Cikalong* itulah bencana angin puting beliung itu terjadi.

Potret Bencana
Meskipun tak seburuk bencana tsunami yang melanda kecamatan ini beberapa yang tahun lalu, tapi ternyata bencana ini tak lebih baik dari wajah dunia perpolitikan Indonesia yang kini sedang carut marut. Saat bencana itu berlangsung aku berada dari tempat kejadian perkara dengan jarak hanya beberapa puluh meter saja. Tapi nyaris tak kusadari.

Kejadian angin puting beliung yang disertai dengan hujan es ini hanya berlangsung sekitar 2 menit saja. Tapi hasilnya....??? Subhanallah. Kerusakan hebat menerpa ratusan rumah di Kecamatan Cikalong. Salah satunya di Kampung Sindangsari Desa Sindang Jaya. Lokasi dimana aku sempat beristirahat untuk sekedar makan dalam sebuah perjalanan dinas yang cukup melelahkan bersama seorang sahabat.

Saat kami mulai bergerak dari tempat kami berteduh sebelum hujan benar-benar reda. Ada ratusan pohon yang tumbang menghalangi jalan. Kami tertegun dan terhenti beberapa saat ketika orang-orang begitu panik serta saling mengabari akan adanya bencana itu. Instingku terpicu untuk membelokan mobil ke arah lokasi bencana dari tujuan semula: Pulang!

Benar saja. Dimana-mana aku temui jejak-jejak angin itu. Puluhan bangunan rumah tercerabut genting-gentingnya. Dan berubah menjadi puing-puing yang basah. Di suatu pojok jalan Ponton di Cirojeh, kami berhenti tanpa sadar. Tepat di depan rumah yang sudah hampir rata dengan tanah.

Namanya Mustafa (39), lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai penyadap kelapa dan pembuat gula itu tengah memandang kosong ke arah gubuk miliknya. Disampingnya, seorang perempuan menggendong bayi dengan 2 orang anaknya yang lain dan masih kecil-kecil. Mereka basah kuyup dengan mata yang kelelahan menahan tangis. Aku tertegun demi melihat apa yang tengah berlaku di hadapanku. Sebuah tragedi memaparkan ceritanya dengan pedih. Mungkin, riwayat seorang mustafa akan sedikit bisa menggam-barkan tentang betapa berartinya sebuah rumah pada kita. Ya, terutama bagi seorang tunawisma yang sudah setahun berjuang penuh mendirikan tempat berteduh meskipun hanya di tanah orang ini.

Ketika bencana itu datang menghampiri, Mustafa sedang menghadapi kuali dengan adonan Nira untuk membuat gula. Sementara istri dan ketiga anaknya sedang pulas dalam mimpinya diantara hujatan petir dan deru hujan yang meninabobokan. Mereka tak mengira bunyi derak dan gemuruh di atas genting adalah gumpalan es yang menerjang. Sadar-sadar ketika rumahnya bergerak kencang. Hampir bersamaan, genting rumahnya jatuh dan terpecah di atas tanah. Untung saja Mustafa berhasil menyela-matkan seluruh anggota keluarganya. Meskipun kenyataan membuat mereka harus menyaksikan sendiri perjuangan yang lebih dari setahun itu hancur di depan mata.

Lain lagi dengan cerita Uni, warga sekampung Mustafa yang sama-sama panik ketika bencana itu datang menyapanya. Ia keluar dari rumah dengan maksud untuk menyelamatkan diri. Bahkan ia berusaha untuk tetap sadar dan meminta perlindungan tuhan dengan menguman-dangkan adzan. Namun malang, saat tengah azdan itulah sebongkah es membentur tepat pada sebelah matanya. Sehingga akibat benturan tersebut mata Uni pun tak melihat dan harus dilarikan ke tempat pelayanan kesehatan. Tercatat, ada 124 rumah yang terimbas angin puting beliung di Desa Sindang-jaya ini. Empat rumah dinyatakan Rusak total sedangkan sisanya hanya rusak ringan. Menurut pantauanku, tak dilaporkan adanya korban jiwa di kejadian ini. Hanya dua orang saja yang terluka cukup serius akibat tertimpa bagian pohon kelapa dan tertimpa es.


Renungan
Hanya saja yang tak habis kumengerti adalah banyak orang yang memanfaatkan situasi ini sebagai ajang untuk mendapat keuntungan pribadi. Misalnya saja ketika sedang dilakukan pendataan banyak orang yang mengantri dan ngotot untuk dicatat sebagai korban bencana. Padahal kalau dilihat di lapangan Cuma kehilangan beberapa buah genteng saja. Entahlah. Mungkin mereka mengira akan mendapat penggantian ganti dari pemerintah. Atau mungkinkah ini adalah pertanda efek buruknya BLT dan tragedi tsunami di masalalu?

Kecamatan Cikalong terletak antara 107 00-107 00 BT dan 5 50-6 30 LS dan terletak dibagian selatan Kabupaten Tasikmalaya. Dari Kota Tasikmalaya jaraknya ± 80 Km. Secara fisik Kecamatan Cikalong mempunyai luas 13291,966 Ha. Jumlah penduduknya lebih dari 54.640 orang dengan mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani (70,42%).

Tidak ada komentar: