Senin, 08 Juni 2009

MENATA ULANG KONSTITUSI NKRI MENUJU TERCIPTANYA WELFARE STATE


Oleh : Erlan Suwarlan,S.IP

Abstrak
Agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah Negara demokrasi konstitusional. Sebab,transformasi ke arah pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberikan dasar bagi berbagai agenda demokrasi lainnya. Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya constitutional reform yang sebenarnya.

Latar Belakang Permasalahan : Konteks Sosio-Historis
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada tiga macam Undang Undang Dasar yang pernah berlaku yaitu : UUD 1945,yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 ; Konstitusi RIS ; UUDS 1950,yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai Juli 1959 ; UUD 1945,yang berlaku sejak dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959. Dalam keempat periode berlakunya ketiga macam undang – undang dasar itu, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No.7.

Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang. Melalui Dekrit itu telah dinyatakan berlaku kembali UUD 1945. UUD 1945 merupakan salah satu konstitusi yang paling singkat dan sederhana di dunia yang hanya terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat tambahan yang mengatur lima unsur yaitu: kekuasaan Negara, hak rakyat, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sejarah pembuatannya yang kilat menyebabkan Soekarno pada waktu pemberlakuan UUD 1945 pada Tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan bahwa :
“ Undang – Undang Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang – Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang – Unadang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang – Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.”

Perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara, tidak lapang jalannya. Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara Republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak menjalankan pasal – pasal dari UUD. Yang kita gunakan adalah pasal peralihan. Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya dipilih oleh MPR menurut pasal 6 ayat 2 UUD 1945 ternyata dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menurut Pasal III Aturan Peralihan. Namun, hal ini bisa dimaklumi karena ini adalah sesuatu yang pertama kali di dalam mengantar kepada adanya suatu Negara. Letak keabsahan lembaga ini bukan pada saat pembentukan dan pada waktu bekerjanya, tetapi adalah diterimanya hasil – hasil karyanya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Jatuhnya Soeharto Dan Perubahan Politik Indonesia
Politik Indonesia akhir abad ke-20 ditandai oleh suatu perubahan politik luar biasa, yaitu jatuhnya Soeharto secara dramatis pada tanggal 21 Mei 1998 melalui gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, didukung intelektual kampus dan LSM yang memperoleh dukungan luas dari publik Indonesia. Tidak satu pun orang pada waktu itu bisa membayangkan bahwa Soeharto akan jatuh dari kekuasaannya secara dramatis seperti itu. Jatuhnya Soeharto menandai berakhirnya era rezim otoritarian yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun sehingga membuka peluang suksesi kepemimpinan nasional kepada B.J.Habibie. Selain itu terjadi dinamisasi luas bagi bangsa Indonesia untuk mereformasi secara struktural seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik politik, ekonomi dan hukum.

Kehancuran rezim otoritarian Soeharto dimulai ketika situasi politik menjadi tidak menentu akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak Tahun 1997 dan semakin buruk ketika nilai rupiah terpuruk terhadap dolar AS sampai 170 persen. Pada Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih sekitar Rp 2.433,00 menjadi Rp 8.300,00 pada awal Januari 1998 dan sampai mencapai Rp 17.000,00. Hal tersebut merupakan suatu apresiasi nilai dolar AS kepada rupiah yang tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Hal ini berimplikasi pada kehancuran ekonomi Indonesia. Inflasi sangat tinggi akibat kenaikan harga bahan kebutuhan pokok yang tidak terkendali. PHK terjadi secara bergelombang,terutama pada perusahaan yang produksinya bergantung kepada bahan baku impor. Pengusaha tidak mampu lagi membeli bahan pemasok karena harus membeli dengan dolar Amerika. Ongkos produksi menjadi sangat tinggi sehingga pengusaha tidak mampu membayar gaji pekerja. Lebih dari 2 juta orang kehilangan pekerjaan terutama dari sektor tekstil, garmen, industri sepatu dan perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan konstruksi.

Situasi politik juga semakin memanas akibat kebijakan pemerintah dan militer yang tidak populer. Penculikkan para aktivis mahasiswa menjelang Sidang Istimewa MPR Tahun 1998, penunjukkan para kroni sebagai menteri kabinet seperti Muhammad Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan dan Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Sosial, kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik semakin memicu kemarahan mahasiswa. Tuntutannya tidak lagi berkisar pada penurunan harga, tetapi mulai menutut Soeharto untuk turun dari kekuasaan. Meluasnya ketidakpuasan dan kemarahan rakyat disertai demonstrasi mahasiswa yang didukung LSM, menjadi salah satu faktor pendorong semakin cepatnya kejatuhan Soeharto. Disamping itu, juga ada faktor-faktor lain yang berpengaruh seperti : konspirasi elite domestik, perpecahan faksi – faksi dalam tubuh militer dan pengunduran diri empat belas menteri kabinet Soeharto secara mendadak, serta tekanan eksternal (dunia internasional).

Salah satu konspirasi elite yang menonjol dan cukup kontroversial adalah pernyataan Pimpinan DPR pada tanggal 18 Mei 1998 yang ditandatangani oleh Harmoko, Ismail Hasan Metareum, Fatimah Ahmad, Abdul Gafur dan Syarwan Hamid yang meminta Soeharto untuk turun dari jabatannya. Ironis, sebab Harmoko merupakan seorang kepercayaan Soeharto yang waktu itu merupakan Ketua Umum Golkar. Harmoko inilah yang sebelumnya mendorong Soeharto untuk maju lagi dalam pemilihan Presiden pada pasca-pemilu 1997.

Pengunduran diri empat belas menteri secara mendadak juga semakin menurunkan legitimasinya pada tingkat yang paling rendah. Mereka antara lain : Akbar Tanjung, Ginanjar Kartasasmita, Theo Sambuaga, Fuad Bawazier, Harjanto Danutirto, Alwi Dahlan, Subiakto Tjokrowardoyo, Kuntoro Mangkusubroto, Tanri Abeng, Giri Suseno, Justika Baharsyah dan lain – lain. Hampir seluruh menteri itu merupakan orang kepercayaan Soeharto, namun meninggalkannya ketika situasi politik tidak lagi berpihak pada Soeharto.

Selain itu, para tokoh reformasi seperti Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri pada waktu itu membangun barisan konsolidasi menolak usulan paket reformasi yang disampaikan Soeharto. Tadinya Soeharto berharap banyak dari Nurcholis Madjid – seorang tokoh reformasi moderat untuk meneduhkan situasi,namun ia pun menolak paket reformasi dari Soeharto. Hilanglah harapan Soeharto.

Urgensi Perubahan
Perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma perubahan agar perubahan terarah sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma ini digali dari kelemahan sistem bangunan lama, dan dengan argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Paradigma itu mencakup nilai – nilai dan prinsip – prinsip penting yang mendasar atau jiwa (gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan atau penyusunan konstitusi baru. Disamping persoalan paradigma dalam perubahan konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur perubahan, mekanisme yang dilakukan, sistem perubahan yang dianut dan substansi yang akan diubah.

Setiap konstitusi tertulis lazimnya selalu memuat adanya klausula perubahan di dalam naskahnya, sebab betapa pun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD. Selain itu, konstitusi sebagai acuan utama dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu kontrak sosial yang merefleksikan hubungan – hubungan kepentingan dari seluruh komponen bangsa yang sifatnya dinamis. Dengan demikian, konstitusi memerlukan peremajaan secara periodik karena dinamika lingkungan global akan secara langsung atau tidak langsung menimbulkan pergeseran aspirasi masyarakat.

Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan semakin mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, gerakan reformasi diharapkan mampu mendorong perubahan fundamental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai – nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan serta persaudaraan. Pada awal reformasi, muncul berbagai tuntutan reformasi yang didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, termasuk mahasiswa dan pemuda. Tuntutan itu antara lain :

1).Amandemen UUD 1945 ;
2)Penghapusan doktrin dwifungsi ABRI ;
3)Penegakkan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme ;
4)Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah ;
5)Mewujudkan kebebasan pers ;
6)Mewujudkan kehidupan demokrasi.

Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuasaan sosial politik didasarkan pada pandangan bahwa UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat dan penghormatan HAM. Selain itu, di dalamnya terdapat pasal – pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan Negara yang otoriter, sentralistik, tertutup dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai kehidupan. Aspirasi perlunya perubahan UUD 1945 sesungguhnya telah muncul pada masa orde baru. Namun, karena situasi represif pada masa itu,berbagai gagasan perubahan konstitusi itu tidak mendapat tempat dan hanya hidup di kalangan terbatas dan tidak menjadi wacana publik. Gagasan perubahan konstitusi itu baru menemukan momentumnya ketika muncul gerakan reformasi pada tahun 1998.

Sejak terjadinya reformasi, UUD 1945 yang “disakralkan” mengalami desakralisasi. Gagasan perubahan menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakkan lagi. Mengapa UUD 1945 harus dilakukan perubahan ? berbagai alasan dapat dikemukan mengapa perubahan itu penting dan harus dilakukan misalnya :
1.Secara filosofis karena UUD 1945 adalah moment opname dari berbagi kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya konstitusi itu, setelah 54 tahun kemudian tentu terdapat berbagi perubahan baik di tingkat nasional maupun global.Disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan.

2.Secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain :
pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai prinsip check and balances yang memadai sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy.
Kedua,rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar sangat sederhana, umum bahkan tidak jelas sehingga menimbulkan multitafsir.
Ketiga, unsur – unsur konstitisionalisme tidak dielaborasi secara memadai.
Keempat, terlalu menekankan pada semangat penyelenggaraan Negara.
Kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada presiden untuk mengatur berbagai hal penting dengan Undang Undang.
Keenam, banyak materi muatan yang penting justru diatur dalam Penjelasan UUD. Ketujuh, status dan materi penjelasan UUD 1945. Persoalan ini sering menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan, karena banyak materi Penjelasan yang tidak diatur di dalam pasal – pasal UUD 1945, misalnya materi Negara hukum, istilah mandataris MPR, pertanggungjawaban Presiden dan seterusnya.

Tahap Perubahan
Dalam rapat – rapat Panitia Ad Hoc III (PAH) Badan Pekerja MPR masa sidang 1999 sebelum sampai pada kesepakatan mengenai materi rancangan perubahan UUD 1945, terlebih dahulu disepakati dua hal : kesepakatan untuk langsung melakukan perubahan tanpa menetapkan UUD 1945 terlebih dahulu dan kesepakatan dasar antar fraksi MPR dalam melakukan perubahan UUD. Fraksi – fraksi di MPR menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 tidak menyangkut dan mengganggu eksistensi Negara, tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan Negara agar lebih demokratis, seperti disempurnakannya sistem check and balances dan disempurnakannya pasal – pasal mengenai hak asasi manusia.

Sebagai konsekuensi logis dari kesepakatan itu, perubahan dilakukan terhadap pasal – pasal, bukan terhadap pembukaan UUD 1945. Di tengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari : 1) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. 2)Tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3)Mempertegas sistem pemerintahan presidensial. 4)Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal – hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal – pasal. 5)Perubahan dilakukan dengan cara “ addendum”.

Tahapan perubahan tersebut adalah :
1) 19 OKTOBER 1999; 9 PASAL, 13 AYAT ; KEKUASAAN, KEMENTRIAN, DPR.

2) 18 AGUSTUS 2000 ; 7 BAB, 25 PASAL, 51 AYAT : HILANGYA TNI/POLRI/UG, PEMDA,DPR,WILAYAH NEGARA,WARGA NEGARA, BENDERA/BAHASA, HANKAM,LUAR NEGERI.

3) 9 NOPEMBER 2001; 3 BAB, 23 PASAL, 64 AYAT : MENYEMPURNAKAN KEDAULATAN RAKYAT, PILPRES/IMPEACHMENT/PEMILU,DPD,BPK,MK,KY.

4) 10 AGUSTUS 2002; PASAL 2, 6A;4 8; 1-2 : PENGHAPUSAN DPA,AGAMA, KOMPOSISI MPR,PILPRES PUTARAN II, ATURAN PERALIHAN/TAMBAHAN


Erlan Suwarlan,S.IP., lahir di Tasikmalaya, 7 April 1977. Adalah Dosen Tetap/Staf Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Tasikmalaya.

Tidak ada komentar: