Senin, 22 Juni 2009

PROBLEMATIKA DPRD

(TINJAUAN ANALITIS TERHADAP KOMPLEKSITAS KELEMBAGAAN DPRD)

PENGUATAN KAPASITAS PERAN DAN FUNGSI DPRD
DALAM MEWUJUDKAN PENYELENGGARAAN DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK, EFEKTIF DAN DEMOKRATIS



Desentralisasi dan otonomi daerah sebagai konteks makro cenderung menekankan aspek administrasi pemerintahan. Resentralisasi dan inkonsistensi tindak lanjut desentralisasi telah menghambat optimalisasi kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah. Berbagai dampak negatif dapat diminimalkan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta pengembangan kapasitas pengelolaan tata pemerintahan yang demokratis. Karena DPRD merupakan salah satu lembaga yang paling strategis dalam konteks dan upaya ini, pemahaman yang lebih menyeluruh dalam rangka peningkatan dan pembaharuan kapasitas kelembagaan menjadi semakin penting. Tulisan ini hendak menyampaikan kompleksitas kelembagaan yang penting diperhatikan dalam pengembangan program peningkatan kapasitas dan pembaharuan parlemen di daerah. Secara singkat tulisan ini mengkaji beberapa aspek penting berikut ini. Rendahnya kapasitas legislasi DPRD terjadi karena ia masih mengandalkan masukan pemerintah daerah. Pengembangan kapasitas legislasi cenderung menekankan pada legislatif drafting. DPRD sering dihadapkan pada ketidak-pastian kewenangan dan hasilnya dinilai bertentangan dengan tata urutan perundang-undangan dan kebijakan nasional. Pelaksanaan fungsi penganggaran pun mengalami perkembangan serupa karena pelaksanaan sistem performance budgeting menjadikan fungsi ini bersifat teknis. Selain itu, dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD dinilai mengambil alih fungsi dari lembaga pemerintahan lainnya dan fungsi ini cenderung dipakai sebagai alat politik praktis dalam pemerintahan.
Kapasitas pengembangan tata pemerintahan demokratis juga belum optimal. DPRD dalam banyak kasus justru menjadi contoh yang kurang ideal, karena DPRD belum punya strategi pelembagaannya. Pengarus-utamaan tata tertib DPRD dan perda menurut prinsip-prinsip tata pemerintahan demokratis sangat perlu agar dua mekanisme utama ini memungkinkan DPRD dapat memulai perubahan dari dalam. Untuk menciptakan kondisi yang mendukung, upaya yang lebih menyeluruh diperlukan untuk menciptakan konfigurasi lingkungan yang memampukan.

Demokrasi memang bukanlah bentuk pelaksanaan pemerintahan yang terbaik, karena masih banyak hal yang masih perlu diperdebatkan, namun tidak ada yang lebih baik daripada demokrasi itu sendiri. Sebagai pelaksanaan demokrasi tersebutlah kemudian melahirkan undang-undang No. 32 tahun 2004, implikasi lanjutannya adalah diterapkannya otonomi daerah dengan pelaksanaan desentralisasi dalam pemerintahan di Indonesia. Lahirnya otonomi daerah adalah sebagai buah dari gerakan reformasi 1998. Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menjalankan urusan daerah sesuai dengan kepentingan yang ada di masing-masing daerah.

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut lah banyak permasalahan yang mesti dipahami sebagai sebuah pembelajaran bersama. Mengapa demikian? Otonomi Daerah bukanlah hal yang harus dipahami sebagai sebuah pembagian kekuasaan kepada elit-elit lokal, yang kemudian membawanya ke ranah pemerintahan. Namun otonomi daerah semestinya merupakan sebuah kesempatan untuk membangkitkan peran 3 (tiga) aktor dalam pembangunan, yakni; Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif): sebagai institusi yang bertugas untuk menyediakan iklim politik dan hukum yang kondusif, Sektor swasta: sebagai penyedia lapangan pekerjaan dan penghasilan, dan komunitas masyarakat sipil: sebagai fasilitator interaksi sosial politik dan motivator masyarakat agar mau berperan aktif dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi.

Relasi ketiga aktor tersebut akan sangat menentukan sejauhmana keberhasilan pelaksaanaan pemerintahan di daerah. Jika ketiganya makin mampu bersinergi, maka akan semakin baik kualitas pemerintahan yang akan tercipta. Adapun karakteristik pemerintahan (governance) adalah sebagai berikut:

1.Kompetensi, kompetensi adalah sejauhmana kualitas kemampuan dari para aktor-aktor yang ada dalam membangun daerah. Dalam hal inilah kemudian diperlukan peningkatan kemampuan individu dalam suatu daerah melalui peningkatan Sumber Daya Manusia;

2.Akuntabilitas, adalah bagaimana terciptanya sebuah tanggung gugat mengenai pengelolaan pemerintahan dan keuangan negara. Hal ini sangatlah penting diperhatikan mengingat akan menentukan sejauhmana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan;
3.Partisipasi, partisipasi adalah peran serta. Dalam karakteristik governance partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah merupakan sebuah keharusan. Karena jika masih bersifat top-down dan bukan down-up, sebenarnya pemerintahan desentralisasi belum berjalan maksimal;
4.Transparansi, pentingnya sebuah transparansi merupakan sebuah hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menunjang akuntabilitas di atas. Transparansi di dalamnya mengandung kejujuran dan keterbukaan atas apa yang akan, sedang dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah kepada masyarakat;
5. Rule of Law, Adalah penegakan hukum, penegakan hukum adalah hal yang sangat penting diperhatikan, karena semakin normalnya hukum berjalan pada suatu daerah, maka akan semakin baik sebuah pemerintahan yang ada;
6.Kesetaraan, kesetaraan dalam hal ini dimaksudkan adalah bagaimana peran dari ketiga aktor tersebut dapat berjalan secara sinergi. Ketiganya mampu untuk bekerja sama dengan baik dan saling mengisi kelemahan satu sama lainnya.

Warna lain yang diberikan oleh kehadiran UU 32/2004 tersebut, adalah adanya sistem multi partai, Pilkada, dan Pemilu (DPR, DPD, DPRD Prov, DPRD Kab./Kota). Akibat dari adanya aturan tersebut, maka kepala daerah, anggota DPR, DPD, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota harus dipilih melalui pemilihan langsung. Berkaitan dengan pemilihan langsung, terutama yang untuk menciptakan pemerintahan di daerah, tentunya sangat diharapkan akan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada anggota dewan.

Namun dari survey Asia Barometer 2004 terlihat jelas bahwa ketika responden ditanya institusi mana yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, hanya 11,2% responden yang sangat mempercayai Parlemen, dan hanya 8,1% untuk partai politik. Oleh karena itu, ini merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh DPRD di Indonesia dalam meningkatkan performance di depan publik.

Kalau proses delegitimasi terhadap institusi perwakilan politik di daerah itu terus menerus terjadi maka hal tersebut bisa menimbulkan beberapa kosekuensi: pertama, tidak akan terselenggaranya sistem perwakilan yang diharapkan, yang mampu untuk membangkitkan pembangunan yang partisipatif. Kedua, selain bisa menimbulkan kosekuensi melemahnya check and balances, proses delegitimasi DPRD akan menimbulkan fenomena mobocracy, dimana keterlibatan warga dalam proses politik-kebijakan dijalankan dengan cara tidak terlembaga sehingga kontestasi politik akan ditentukan oleh sejauhmana kemampuan untuk memobilisasi massa dan dukungan politik.

Permasalahan yang dihadapi oleh DPRD tersebut tidak terlepas dari kemampuan Dewan sendiri. Untuk itu dalam melakukan pengawasan, kemampuan anggota dewan akan sangat tergantung pada kapasitas yang dimilikinya, baik problem kewenangan, teknokratis, maupun institusional. Adapun problem yang biasa dihadapi oleh anggota dewan adalah sebagai berikut:

1. Problem Kapasitas Politis
Problematika dalam kapasitas politis bisa dilihat dari lemahnya kapasitas politik anggota Dewan dalam mengelola interaksi politik internal mereka dan energi publik yang berkembang. Deadlock dan aksi walk out di gedung Dewan merupakan contoh dari lemahnya kapasitas politik tersebut. Kondisi tersebut sering terjadi karena masing-masing anggota/fraksi yang mencerminkan suara partai politik- tidak lagi bisa menegosiasikan ide-idenya kepada anggota/fraksi lainnya atau mengkonversi ide fraksinya menjadi ide bersama.

2. Keterbatasan Kapasitas Teknokratis
Rendahnya kapasitas teknokratis dan kompetensi tersebut tidak terlepas dari salah satu dilema demokrasi yang hingga kini sukar terpecahkan, yakni bahwa mekanisme kompetisi yang ada di dalamnya seringkali menjebak kita pada "tirani" popularitas. Seseorang terpilih menjadi anggota Dewan lebih karena popularitas yang dimilikinya atau kuatnya dukungan dari masyarakat. Setiap kompetisi yang berlangsung dalam pesta demokrasi tidak pernah mensyaratkan prasyarat kompetensi.

Terkait dengan hal itu, setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan rendahnya kapasitas teknokratis dewan dalam menjalankan fungsinya ini, yaitu:

(a). Problem kaderisasi, yakni tidak semua partai politik -sebagai basis input anggota Dewan- secara serius mempersiapkan kader-kadernya untuk menjadi pembuat kebijakan yang handal;

(b). Perbedaan basis kelembagaan antara institusi Dewan dengan insitusi eksekutif, terutama dalam proses pembuatan kebijakan. Dilihat dari basis utamanya, Dewan merupakan lembaga yang berbasis partai politik.


Sedangkan eksekutif berbasis birokrasi. Selama ini, partai politik di Indonesia lebih merupakan kendaraan untuk mendulang suara daripada sebagai penyerap aspirasi.
Sementara itu, birokrasi merupakan sebuah institusi yang relatif kaya dengan ide-ide kebijakan. Tidak mengherankan bila partai politik tidak pernah serius mempersiapkan kompetensi anggotanya untuk menjadi perumus kebijakan sebagaimana dilakukan oleh birokrasi.

Basis Perbedaan Kapasitas Teknokratis Partai Politik/Dewan/Birokrasi

(1) Basis Kekuasaan
Sebuah partai politik yang berkuasa atau masuk ke dalam Dewan merupakan representasi dan wadah aspirasi rakyat.
Birokrasi punya keahlian, pengalaman, informasi, profesional, dan lain-lain.

(2) Tugas/fungsi
Membawa aspirasi publik dan membuat keputusan politik.
Menjalankan/ melaksanakan keputusan dan memberikan pelayanan publik.

(3) Pendekatan
Partai/dewan menerapkan pendekatan 'politik' dan populis.
Birokrasi menerapkan pendekatan yang administratif-birokratik dan teknokratik.

(4) Pola Rekrutmen
Pejabat politik/anggota Dewan dari partai dipilih melalui PEMILU.
Birokrat diseleksi/diangkat lewat sistem karir yang didasarkan pada prinsip-prinsip teknokratis

3. Keterbatasan Kapasitas Institusional
Meskipun berbagai peraturan yang ada sudah memberikan ruang politik yang jauh lebih luas bagi anggota Dewan namun desain kelembagaan Dewan yang ada tidak pernah berubah. Lembaga legislatif berikut alat kelengkapan dan supporting system lainnya yang ada tidak mampu menopang optimalisasi kerja-kerja anggota Dewan. Ketidakjelasan dalam upaya pembaharuan institusi dewan dapat dilihat antara lain dari:

(a)Alat kelengkapan dan supporting system lainnya yang ada di dalam lembaga Dewan tidak mampu menopang optimalisasi kerja-kerja anggota Dewan. Pola hubungan Setjen/Setwan dengan anggota Dewan dan alat kelengkapan Dewan masih mewarisi format kelembagaan lama, dimana Setwan tidak lebih dari menjadi birokrasi yang ditanamkan di lembaga para politisi untuk mengkontrol dan menjadi telik sandi (agen) pemerintah terhadap kerja-kerja anggota Dewan. Kaitan dengan fungsinya, peran Setwan ternyata hanya dominan dalam memberikan dukungan administratif tapi sangat minim dalam memberikan dukungan substantif. Bahkan tak jarang pada kondisi tertentu, ada pola hubungan yang tidak sehat antara anggota Dewan dengan para birokrat di Setwan. Setwan dimanfaatkan oleh para politisi di Dewan untuk terlibat secara kolutif dalam berbagai proses manipulasi, seperti manipulasi laporan anggaran. Di sisi lain berharap akan adanya peran lembaga pendukung di dalam tubuh partai politik mereka juga tidak cukup menjanjikan. Hingga saat ini mungkin masih susah membayangkan adanya anggota Dewan yang berusaha merespon kebijakan pemerintah dan menawarkan alternatif dan opsi kebijakan yang berbeda dengan berbekal basis informasi dan data serta analisa yang diperolehnya dari lembaga lembaga pemikiran (think tank) partainya. Itu menunjukkan bahwa politik masih terlalu berkutat pada fungsi rekutmen politik dan artikulasi politik mereka dan menelantarkan fungsi lainnya, yaitu sebagai sumber referensi alternatif kebijakan. Maka tak mengherankan bila para anggota Dewan mengeluh dan meminta kenaikan gaji dengan alasan yang tampak sangat rasional, yakni mereka butuh uang yang cukup untuk menggaji banyak staf ahli dan orang dan mempersiapkan data base mereka sendiri dalam menjalankan peran dasar dan fungsi Dewan. Tiadanya lembaga pendukung yang mapan secara kelembagaan memaksa mereka sedikit kreatif untuk merekrut staf ahli. Merekalah yang nantinya akan memberikan sumber dan masukan informasi kepada anggota Dewan untuk dapat menghasilkan alternatif kebijakan yang handal.

(b)Kekaburan prosedur dan mekanisme kelembagaan. Kondisi ini misalnya sangat terasa saat anggota Dewan harus mengejawantahkan peran-peran pengawasan mereka. Ketidakjelasan prosedur dan mekanisme yang ada membuat seringkali peran pengawasan mereka tumpang-tindih dengan peran badan pengawas fungsional lainnya. Kalaupun prosedur dan mekanisme tertentu sudah dirumuskan, bentuk kepatuhan akan seluruh mekanisme dan prosedur yang ada justru menjebak anggota Dewan pada proseduralisme dan formalisme. Semua prosedur dan mekanisme yang ada justru membatasi ruang gerak dan manuver anggota Dewan untuk memperjuangkan subtansi kebijakan yang ingin dicapai.

Salah satu contohnya ketika DPRD menjalankan fungsi pengawasan. Dalam fungsi pengawasan, DPRD seringkali mengalami problematika institusional. Problematika institusional itu bisa dipetakan sebagai berikut: Pertama. belum terlembaganya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD. Sehingga, pengawasan yang dijalankan cenderung tidak sistematis; baik dalam agenda maupun strategi. Selain itu, DPRD juga belum memiliki SOP yang bisa menjadi pegangan dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Problematika institusional yang kedua adalah lemahnya sistem pendukung dalam menjalankan fungsi pengawasan. Lemahnya sistem pendukung itu bisa dilihat dari kesekretariatan yang tidak mempunyai kualifikasi dalam mendukung fungsi pengawasan; tidak adanya staf ahli; belum tersedianya sistem informasi dan data yang akurat baik akses data/informasi ke eksekutif maupun dari masyarakat; dan ketersedian anggaran.

Problematika berikutnya menyangkut kesiapan dalam membangun networking dengan lembaga terkait. Dalam banyak kasus, DPRD terlihat belum mampu membangun dukungan publik dalam menjalankan fungsi pengawasan. Disamping itu, DPRD belum banyak memanfaatkan kapasitas dan hasil kerja institusi lain, seperti lembaga pengawasan pemerintah, kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan.

Berangkat dari berbagai macam prolematika yang dihadapi dewan dalam menjalankan fungsi-fungsinya, supaya dewan dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan optimal, maka diperlukan agenda penguatan kapasitas fungsi legislatif. Ide-ide peningkatan kapasitas bukan sekedar rangkaian aktivitas transfer sumberdaya material dan memberikan training terhadap individu dan organisasi. Proses peningkatan kapasitas adalah proses untuk menempatkan institusi dan individu ke dalam sistem yang ada dalam konteks manajemen strategik. Oleh karena itu ada 3 level penting yang mesti mengalami intervensi secara simultan saat melakukan penguatan kapasitas, yaitu sistem, organisasi dan individu yang bisa menjadi titik tolak dalam rangka capacity building lembaga legislatif, yaitu level sistemik, level organisasi/ institusional, dan level individu.

1. Level Sistemik
Lingkup penguatan kapasitas pada level ini lebih difokuskan pada kerangka regulasi (peraturan perundangan-undangan dan kebijakan pendukungnnya) dan penguatan lingkungan kebijakan baik secara regional maupun nasional. Peningkatan kapasitas pada level ini berusaha untuk menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang memungkinkan dan yang membatasi (pengatur) bagi dewan, dan dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya. Dalam konteks DPRD, penguatan kapasitas di level sistemik diwujudkan melalui perumusan regulasi yang tidak multitasfir atau bermakna sumir, khususnya terhadap berbagai kebijakan dari yang mengatur kinerja dewan dalam kaitannya menjalankan fungsi-fungsinya. Ketidakjelasan dalam berbagai regulasi jika tidak diantisipasi akan membuat dewan terjerumus dalam berbagai kasus korupsi di daerah, dan seringkali mereka dijadikan sebagai kambing hitam.

2. Level Organisasi/Institusional
Lingkup penguatan kapasitas pada level ini fokus pada organisasi-organisasi khusus, terutama tingkat badan/lembaga teknis atau lembaga pengantar layanan (service delivery) dengan struktur organisasi tertentu, proses-proses kerja, dan budaya kerja. Menganalisa sistem dan manajemen informasi sumberdaya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, sistem pengambilan keputusan. Meskipun sumberdaya material menjadi fokus awal dalam peningkatan kapasitas di level ini, akan tetapi struktur organisasi, budaya, pola hubungan organisasi dengan organisasi lainnya menjadi fokus yang sama-sama pentingnya. Dalam konteks DPRD yang menjadi fokus adalah Penguatan Kelembagaan Dewan beserta pendayagunaan sistem pendukungnya (Sekretariat Dewan/Setwan). Peran dan fungsi anggota Dewan hanya akan bisa optimal bila disertai kemampuannya untuk mengelola berbagai sumber energi dan daya dukung yang terdapat di dalam dan di luar tubuh Dewan.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa pengembangan dan pendayagunaan supporting system menjadi sangat penting, yaitu:

(a) Teknikalitas mempunyai kontribusi politik yang tinggi;
(b) Beban individual anggota dewan bisa direduksi dengan penguatan kapasitas supporting system (peran daya dukung administratif);
(c)Mengurangi politik biaya tinggi karena banyak resiko yang akan muncul
dari ketidakpastian dan tidak adanya konsensus (peran daya dukung politis).
Oleh karena itu sebagai penopang kerja Dewan, maka Setwan tidak bisa bekerja tanpa pengarahan dan masukan dari Dewan, sehingga mengoptimalkan kerja Dewan juga berarti mendukung peningkatan kapasitas Setwan dan meningkatkan komunikasi antara anggota Dewan dengan Sekwan.

3. Level Individu
Lingkup penguatan kapasitas pada level ini fokus pada upaya penguatan kapasitas individu agar mampu mengemban segala tanggung jawab profesional dan teknis mereka. Yang menjadi titik berat perhatian adalah keahlian dan kompetensi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja, pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan etika. Dalam konteks DPRD setidaknya ada 3 agenda penguatan yang urgen untuk dilaksanakan dalam rangka peningkatan kapasitas dan kompetensi dewan, meliputi: Agenda penguatan kapasitas teknokratis anggota Dewan dan Agenda penguatan kapasitas politik anggota Dewan.

3.1. Agenda penguatan kapasitas teknokratis anggota Dewan.
Kemampuan dan kapasitas teknokratis anggota Dewan merupakan prasyarat penting bagi optimalisasi peran dan fungsi legislatif. Hal tersebut tidak bisa dinafikan begitu saja karena anggota Dewan harus mampu merumuskan sebuah kebijakan yang akurat dan koheren. Keahlian teknokratis tersebut merupakan keahlian yang terkait dengan kemampuan anggota Dewan dalam mengenali dan mengelola 3 medannya, yaitu: legislasi, penganggaran dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsi legislasi, misalnya anggota Dewan diharapkan tidak hanya menguasai kemahiran dalam membuat undang-undang, tetapi dewan juga dituntut untuk dapat mengidenfikasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu dewan juga dituntut untuk bisa melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat supaya mendapatkan legitimasi di mata publik. Begitu juga dalam melaksanakan fungsi penganggaran dan pengawasan, anggota dewan dituntut untuk mampu menyesuaikan kemampuan sumber daya yang ada dengan kualitas kebijakan yang diinginkan sekaligus mampu mengawasi dan memonitor pemerintah untuk memastikan adanya kesepakatan yang terdokumentasikan dalam produk perundang-undangan/peraturan dan anggaran yang ada dijalankan dengan baik oleh pemerintah dan sesuai dengan hasil (output) dan dampak (outcome) yang diharapkan.

3.2. Agenda penguatan kapasitas politik anggota Dewan.

Agenda peningkatan kapasitas politik anggota Dewan merupakan agenda peningkatan kemampuan anggota Dewan untuk membangun dan menggalang koalisi dalam rangka meng-gol-kan isu tertentu dengan memanfaatkan jaringan yang ada. Oleh karena itu ada dua dimensi penting dalam kapasitas politik tersebut, yaitu:

(a)Koalisi. Kapasitas politik anggota Dewan sangat erat hubungannya dengan kemampuannya untuk membangun kesepakatan dan kekuatan bersama dengan menggalang koalisi di dalam tubuh Dewan. Kemampuan koalisi sangatlah penting karena setiap keputusan yang dihasilkan di dalam Dewan mensyaratkan adanya kesepakatan bersama dan mendapat pengakuan legitimasi dari seluruh anggota Dewan.

(b)Jaringan. Kapasitas politik anggota Dewan juga terkait dengan kemampuannya memanfaatkan jaringan yang ada di dalam tubuh Dewan maupun dengan di luar tubuh Dewan sebagai sarana untuk mengakses dan mengkomunikasikan berbagai aspirasi kepada semua stakeholders yang terlibat dalam sebuah proses kebijakan.


SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK TASIKMALAYA
Jl. Gunung Pongpok III No. 29 P.O. BOX 110 Tasikmalaya Telp./Fax (0265) 341748
E-mail : stisiptasik.lppm@gmail.com

Tulisan ini dikirimkan oleh : Erlan Suwarlan, S.IP

Tidak ada komentar: